Jurnal Prodigy
Jurnal “Prodigy” merupakan jurnal perundang-undangan atau ilmiah yang memuat artikel hasil penelitian, kajian dan pemikiran dalam bidang perundang-undangan dan hukum. Dikelola dan diterbitkan oleh Pusat Perancangan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI dua kali dalam setahun yaitu bulan Juli dan Desember. Jurnal “Prodigy” diharapkan menjadi salah satu media untuk mempublikasikan pemikiran dari para praktisi atau akademisi di bidang perundang-undangan dan hukum, maupun yang menaruh perhatian terhadap isu-isu legislasi di Indonesia.
Penulis: Sutriyanti, S.H., M.H.
Abstrak:
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perairan yang sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam di wilayah laut yang sangat besar. Dalam kegiatan pemanfaatan potensi sumber daya alam laut Indonesia sering terjadi permasalahan salah satunya illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU Fishing). Indonesia telah meratifikasi konvensi hukum laut internasional sehingga perlu dilihat pengaturan mengenai tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing dalam konvensi tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tinjauan hukum laut internasional terkait tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia dan pengaturan sanksi dalam hukum nasional Indonesia bertentangan atau tidak dengan aturan hukum laut internasional. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber-sumber kepustakaan. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis deskriptif. Hasil tulisan ini menunjukkan bahwa dalam perspektif hukum laut internasional, tidak diatur spesifik sanksi terhadap IUU Fishing. Tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum laut internasional dan bagian dari wewenang negara Indonesia untuk memberikan sanksi terhadap tindakan kapal asing yang melakukan IUU Fishing. Selain itu, pengaturan sanksi IUU Fishing oleh kapal asing telah diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yaitu berupa sanksi tegas dengan membakar dan menenggelamkan setiap kapal asing yang melakukan IUU Fishing.
Penulis: Nita Ariyulinda, S.H., M.H.
Abstrak:
Peredaran obat dan makanan di masyarakat sangat beraneka ragam baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Peredaran obat dan makanan di masyarakat banyak menimbulkan permasalahan yaitu beredarnya obat dan makanan ilegal (tanpa izin), serta obat dan makanan dengan kandungan zat kimia berbahaya. Untuk menangani permasalahan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia (RUU POM serta Pemanfaatan OAI). Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan ruang lingkup pengawasan obat dan makanan menjadi kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan apakah judul rancangan undang-undang tersebut sudah tepat jika dilihat dari ruang lingkup pengawasan obat dan makanan. Metode penulisan ini menggunakan metode yurudis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen dan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), BPOM bertugas melaksanakan pengawasan obat dan makanan yang bertujuan untuk menjamin persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk. Istilah obat asli Indonesia sudah tidak ada sejak undang-undang tentang farmasi dicabut oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU tentang Kesehatan). Sedangkan pemanfaatan obat maupun obat tradisional merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam SKN. Jika dilihat dari kewenangan BPOM dan Kemenkes maka judul RUU POM dan Pemanfaatan OAI tidak tepat.
Penulis: Arrista Trimaya, S.H., M.H.
Abstrak:
Dokter layanan primer merupakan profesi baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU tentang Pendidikan Kedokteran). Dokter layanan primer sangat diperlukan sejalan dengan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengharuskan alur pelayanan diawali dari fasilitas primer, seperti di puskesmas, klinik pratama, dan praktik dokter mandiri. Namun, permasalahan yang timbul adalah bagaimana konsep pengaturan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dan sinkronisasinya dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU tentang Praktik Kedokteran), yang hanya mengatur mengenai dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub spesialis. Profesi dokter layanan primer justru dinilai akan menghambat dan melanggar akses pelayanan dokter umum di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep pengaturan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dan sinkronisasinya dengan UU tentang Praktik Kedokteran serta impilkasi hukum keberadaan dokter layanan primer dalam praktik kedokteran di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan analisis terhadap prinsip dasar negara dalam mewujudkan jaminan kesehatan melalui penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional, sistem pelayanan kesehatan primer, serta peraturan perudang-undangan. Keberadaan dokter layanan primer memberikan perubahan pada penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang menimbulkan implikasi hukum. Hal ini terutama berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan profesi dokter layanan primer, mencakup standar pendidikan profesi, pelaksanaan uji kompetensi, pemberian sertifikat kompetensi, penyiapan sarana dan prasarana yang diperlukan, dan penyiapan rumah sakit pendidikan.
Kata Kunci: Dokter Layanan Primer, Pendidikan Kedokteran, Prinsip Praktik Kedokteran.
Penulis: Akhmad Aulawi, S.H., M.H.
Abstrak:
Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar memiliki potensi ekonomi yang tinggi, salah satunya melalui keberadaan wakaf. Potensi ekonomi ini belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pemerintah bersama dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia menginisiasi sebuah lembaga keuangan syariah yaitu bank wakaf ventura untuk mengelola dana wakaf yang beredar untuk kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk hukum, legalitas pendirian, serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dibentuknya bank wakaf ventura. Tujuan penulisan untuk mengetahui aspek bentuk hukum, legalitas pendirian, serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan dengan dibentuknya bank wakaf ventura. Metode penulisan disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber kepustakaan dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan analisis dalam tulisan ini disimpulkan bahwa pembentukan bank wakaf ventura dilakukan dengan bentuk hukum perusahaan modal ventura syariah dengan aspek legalitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu pembentukan bank wakaf ventura perlu disinkronisasikan dengan undang-undang yang terkait.
Kata kunci: keuangan syariah, wakaf, modal ventura.
Penulis: Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H.
Abstrak:
Konsekuensi terbentuknya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakibatkan pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) kepada OJK. Meskipun kewenangan BI untuk melakukan pengaturan dan pengawasan perbankan telah dialihkan, BI tetap memiliki kompetensi untuk memeriksa hal-hal yang terkait dengan makroprudensial bank dalam rangka menjalankan tugasnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun permasalahan dalam tulisan ini meliputi pengertian kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial serta irisannya terhadap kedua kebijakan tersebut serta penerapan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial dalam regulasi perbankan. Sedangkan tujuan penulisan untuk mengetahui pengertian kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial serta irisannya terhadap kedua kebijakan tersebut serta penerapan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial dalam regulasi perbankan. Metode penulisan yang digunakan yaitu metode hukum normatif. Spesifikasi penulisan adalah deskriptif analitis. Metode analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif, yang bertitik tolak dari hukum positif lalu dianalisis secara kualitatif untuk menarik simpulan. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan makroprudensial, OJK membantu BI untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan. Dengan demikian terdapat dua institusi yaitu BI dan OJK yang memiliki kompetensi atas pengaturan dan pengawasan bank. Oleh karena itu, perlu ada harmonisasi dan koordinasi yang baik antara BI dan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank agar masalah tersebut tidak menyulitkan bank karena adanya tumpang tindih. Sebaiknya pengaturan soal ruang lingkup mikroprudensial dan ruang lingkup makroprudensial dicantumkan dalam perubahan UU tentang Perbankan.
Kata kunci: makroprudensial, mikroprudensial, perbankan.
Penulis: Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H.
Abstrak:
Sebagai negara hukum Indonesia menganut paham sistem hukum eropa kontinental yang lebih mengutamakan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) daripada hukum tidak tertulis. Di sisi lain berdasarkan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 195 (UUD NRI Tahun 1945), Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya (hukum adat) yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum adat sebagai living law dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Selain itu perlu diketahui juga mengenai sikap negara terhadap keberadaan Hukum Adat berdasarkan prinsip NKRI. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Secara umum hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang berupa ketentuan atau nilai yang hidup (living law) yang ditaati oleh masyarakat hukum adat. Hukum adat merupakan bagian dari hukum Indonesia yang seharusnya tidak bertentangan dan bersifat saling melengkapi dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis.
Kata kunci : negara hukum, hukum tertulis, hukum adat, nilai yang hidup.
Penulis: Kuntari, S.H., M.H.
Abstrak:
Ketentuan Pasal 36E Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU tentang Nakeswan) memungkinkan importasi ternak dan/atau produk hewan baik yang berasal dari negara tertentu yang bebas penyakit hewan (country based) maupun dari setiap zona tertentu dari wilayah suatu negara yang bebas penyakit hewan (zone based). Pasal 59 ayat (2) UU tentang Nakeswan membatasi harus dengan country based. Perbedaan pengaturan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengimpor dan tidak selaras dengan tujuan awal UU tentang Nakeswan yaitu untuk melindungi wilayah Indonesia dari masuk dan menyebarnya penyakit hewan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana arah pengaturan importasi ternak dan/atau produk hewan dalam UU tentang Nakeswan dan bagaimana keberadaan Pasal 36E UU tentang Nakeswan sebagai dasar pengaturan impor ternak dan/atau produk hewan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 129/PUU-XIII/2015. Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisis bahan hukum terkait pelaksanaan importasi hewan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa UU tentang Nakeswan memungkinkan pelaksanaan country based dan zone based. Penerapan keduanya harus diikuti kewaspadaan otoritas veteriner dan karantina untuk memastikan terlaksananya peraturan nasional dan internasional secara utuh dan bertanggung jawab. Kunci efektivitas penerapan Pasal 36E UU tentang Nakeswan berada pada frasa “dalam hal tertentu” yang perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menerapkan keduanya di Indonesia.
Kata kunci: peternakan, ternak, produk hewan, importasi
Penulis: Bagus Prasetyo, S.H., M.H.
Abstrak:
Abstrak
Kekayaan bangsa Indonesia yang melimpah diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Tentang Pemajuan Kebudayaan). Permasalahan dalam tulisan ini, bagaimana arah pengaturan kebudayaan di Indonesia dan hal apa yang perlu disiapkan dalam menjalankan UU tentang Pemajuan Kebudayaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui arah pengaturan kebudayaan di Indonesia dalam UU tentang Pemajuan Kebudayaan dan hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam menjalankan UU tentang Pemajuan Kebudayaan agar dapat menjadi efektif. Metode penulisan yang digunakan adalah metode analisis yuridis normatif. Arah pemajuan kebudayaan berdasarkan UU tentang Pemajuan Kebudayaan dilandasi dengan semangat bahwa kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan langkah strategis dalam melakukan pemajuan kebudayaan yang dilakukan yaitu melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Agar UU tentang Pemajuan Kebudayaan dapat berjalan efektif maka perlu dipersiapkan Pertama, menetapkan peraturan pelaksanaan sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU tentang Pemajuan Kebudayaan. Kedua, mempersiapkan sumber daya manusia sebagai operator pusat data objek pemajuan kebudayaan termasuk menyiapkan standar kompetensi bagi operator pusat data mulai dari pendidikan dan pelatihan hingga sertifikasi. Ketiga, mempersiapkan sarana prasarana seperti komputer, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, serta taman budaya di daerah. Keempat, berupaya merubah paradigma di masyarakat menjadi bahwa pemajuan kebudayaan harus dipandang sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa, dan bukan sebagai beban biaya. Kelima, melakukan berbagai upaya agar masyarakat kembali mencintai budayanya.
Kata kunci: hukum, pemajuan kebudayaan, warisan budaya nasional
Penulis: Arif Usman, S.H., M.H.
Abstrak:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah beberapa kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), salah satu putusan MK adalah putusan nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang intinya adalah hutan adat tidak lagi berstatus sebagai hutan negara, melainkan berstatus sebagai hutan hak. Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah status hutan adat pasca putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan implikasi pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat. Adapun tujuan adalah memahami dan mengetahui status hutan adat dan implikasi pengelolaan hutan adat. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber-sumber kepustakaan. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis deskriptif. Konsekuensi yuridis dari keputusan ini, maka terdapat tiga nomenklatur status hutan di Indonesia yaitu hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Implikasi pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat ada dua, implikasi positif yaitu menguatkan pengakuan dan perlindungan Negara terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dan implikasi negatif yaitu dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan adat sehingga kelestarian hutan adat terancam.
Kata kunci: putusan mahkamah konstitusi, status hutan, masyarakat hukum adat.
Penulis: Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M.
Abstrak:
Pengujian dan pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang merupakan produk bersama antara kepala daerah kabupaten/kota dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) kabupaten/kota menghadapi dualisme pengaturan. Satu sisi pengujiannya dapat dilakukan melalui judicial review di Mahkamah Agung. Di sisi lain, dalam praktiknya selama ini dilakukan juga pembatalan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui suatu executive review. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015 kemudian membatalkan proses executive review yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tulisan ini mengkaji secara yuridis normatif bagaimana dualisme pembatalan dan pengujian peraturan daerah kabupaten/kota dan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud. Putusan Mahkamah Konstitusi mengakhiri dualisme tersebut namun peran pemerintah dalam mengevaluasi rancangan perda kabupaten/kota tetap berjalan. Putusan Mahkamah Konstitusi hakikatnya menginginkan perbaikan mekanisme penertiban perda agar lebih hati-hati. Proses evaluasi rancangan perda menjadi hal yang sangat signifikan dalam pembentukan perda, sehingga peran pemerintah pusat dituntut lebih kuat dan memadai dalam mengawal lahirnya berbagai perda.
Kata kunci: peraturan daerah kabupaten/kota, pengujian dan pembatalan peraturan daerah, judicial review, executive review.
Penulis: Nova Manda Sari, S.H., M.H.
Abstrak:
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak WNI oleh WNA merupakan salah satu jenis dari pengangkatan anak yang ada di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP No.54 Tahun 2007). Lemahnya pengaturan dan implementasi peraturan perundang-undangan terkait pengangkatan anak WNI oleh WNA menimbulkan permasalahan yuridis. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yuridis dalam pengangkatan anak WNI oleh WNA dan solusi untuk mengatasi permasalahan yuridis pengangkatan anak WNI oleh WNA. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Akibat lemahnya pengaturan dan implementasi peraturan perundang-undangan sehingga berdampak pada, Pertama, penyimpangan motif pengangkatan anak dari prinsip dasar pengangkatan anak seperti perdagangan anak yang berkedok pengangkatan anak internasional; dan Kedua, lemahnya bimbingan dan pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan pengangkatan anak WNI oleh WNA. Adapun solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut antara lain perlu sosialisasi ketahanan keluarga pranikah dan pascanikah agar mengetahui dan meningkatkan kewaspadaan sindikat perdagangan anak yang berkedok pengangkatan anak internasional, dan perlu mengubah peraturan pelaksana pengangkatan anak.
Kata kunci: pengangkatan anak, warga negara Indonesia, warga negara asing
Penulis: Atisa Praharini, S.H., M.H.
Abstrak:
Perkembangan teknologi informasi membuat banyak hal menjadi instan, mudah, dan praktis, termasuk dalam membeli obat. Obat keras yang seharusnya dibeli di apotek dan harus dengan resep dokter, saat ini dapat dibeli melalui media online, padahal obat keras adalah obat yang berkhasiat keras dan apabila dikonsumsi secara sembarangan dapat berbahaya seperti meracuni tubuh, memperparah penyakit, bahkan menyebabkan kematian. Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan ,mengenai jual beli obat keras melalui media online ditinjau dari peraturan perundang-undangan dan implikasi hukum yang berpotensi terjadi dari jual beli obat keras melalui media online. Tujuan penulisan ini mengetahui jual beli obat keras melalui media online ditinjau dari peraturan perundang-undangan dan implikasi hukum yang berpotensi terjadi dari jual beli obat keras melalui media online. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan dan beberapa literatur terkait. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang mengatur secara tegas mengenai jual beli obat keras melalui media online. Implikasi dari penjualan obat keras melalui media online sangat berpotensi membahayakan pembeli/konsumen seperti terjadinya pemalsuan resep, informasi mengenai obat kurang jelas, proses pengiriman yang dapat mengganggu stabilitas obat, dan kesalahan pengiriman obat.
Kata kunci: obat, apoteker, online
Penulis: Noor Ridha Widiyani, S.H.
Abstrak:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk menjalankan kewenangannya, daerah harus mempunyai sumber keuangan agar daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya. Pemerintah daerah harus mempunyai strategi dalam pengelolaan pendapatan asli daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda, oleh karena itu ekonomi rakyat yang menjangkau usaha mikro seharusnya dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai pendapatan asli daerah serta pendayagunaan ekonomi kerakyatan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi. Potensi penerimaan pajak dari pelaku usaha ekonomi kerakyatan khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberikan perhatian oleh pemerintah daerah, termasuk juga mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian, meningkatnya ekonomi kerakyatan akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatnya pendapatan asli daerah akan memberikan kesejahteraan rakyat.
Kata kunci: keuangan daerah, ekonomi kerakyatan, pendapatan asli daerah
Penulis: Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
Abstrak:
Minyak mentah dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Posisi strategis minyak dan gas bumi tidak lain dalam hal kebutuhan pasokan energi yang dipergunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Semakin menurunnya jumlah lifting minyak dan gas bumi serta pengelolaan kelembagaan yang tidak tepat merupakan permasalahan utama yang menyebabkan kekurangan pasokan energi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai pengelolaan minyak dan gas bumi ke depan dan implikasi hukum dari pembentukan induk usaha (holding company) minyak dan gas bumi di Indonesia. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan data skunder yang dianalisis secara deskriptif analitis. Melihat besarnya sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia dan kebutuhan akan minyak dan gas bumi, maka diperlukan pengelolaan secara tepat melalui pembentukan suatu kelembagaan yang secara fungsi memiliki kewenangan untuk melakukan pembentukan kebijakan, pengendalian, regulasi maupun pengawasan. Pengaturan mengenai pengelolaan minyak dan dan gas bumi kedepannya dilaksanakan melalui pembentukan induk usaha (holding company) yang diharapkan mampu memperbaiki kondisi pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) saat ini sekaligus meningkatkan perolehan lifting minyak dan gas bumi melalui peningkatan cadangan terbukti, penemuan wilayah kerja baru, dan kebijakan ekspor maupun impor.
Kata Kunci: minyak bumi, gas bumi, induk usaha
Penulis: Olsen Peranto, S.H.
Abstrak:
Dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Majelis Umum PBB dapat melakukan intervensi terhadap suatu pertikaian internasional ketika Dewan Keamanan gagal menjalankan fungsinya. Intervensi tersebut nampak sangat signifikan dalam beberapa penyelesaian konflik internasional. Majelis Umum mengeluarkan resolusi Nomor A/ES-10/L/22 dalam kasus inisiasi pemindahan kantor diplomatik AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Status Jerusalem menurut Resolusi PBB adalah “corpus separatum” yang artinya memiliki status khusus di bawah otorisasi PBB. Permasalahan yang akan dikaji adalah terkait pemindahan kantor diplomatik dari Tel Aviv ke Jerusalem oleh AS, Resolusi Majelis Umum terhadap tindakan AS tersebut, serta implikasinya bagi AS menurut Piagam PBB. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tindakan relokasi kantor diplomatik AS ke Jerusalem, Resolusi MU terhadap AS, dan implikasinya bagi AS menurut Piagam PBB. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan AS terhadap Jerusalem telah melanggar prinsip dan tujuan PBB khususnya dalam penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah atas Jerusalem serta melakukan pelanggaran terhadap perdamaian. Resolusi Nomor A/ES-10/L/22 secara prosedur dan substansi telah sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Meskipun resolusi tersebut tidak mengikat dan hanya bersifat rekomendasi, namun dalam praktik senantiasa ditaati dan efektif dalam penyelesaian konflik internasional karena mengandung bobot moral yang bersumber dari pendapat mayoritas anggota PBB. Penyalahgunaan veto di Dewan Keamanan yang mengakibatkan masuknya intervensi Majelis Umum tersebut menjadi suatu isu krusial dalam kerangka Piagam PBB meski pada prinsipnya tidak menghalangi peran Majelis Umum dalam menyelesaikan konflik internasional.
Penulis: Nita Ariyulinda, S.H., M.H.
Abstrak:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU tentang Tenaga Kesehatan) mengatur mengenai pembentukan hanya satu organisasi profesi yang tertuang dalam Pasal 50 ayat (2). Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan mengandung makna bahwa setiap masing-masing kelompok tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Dalam pasal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pengaturan Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan dapat mengurangi hak masing-masing kelompok tenaga kesehatan untuk berserikat dan berkumpul, mengingat adanya pembatasan untuk pembentukan organisasi profesi tenaga kesehatan. Sebagaimana diketahui bahwa hak berserikat dan berkumpul merupakan salah satu hak asasi manusia yang telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan pembentukan satu organisasi profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan dan bagaimanakah pengaturan Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan ditinjau dari perspektif konstitusi. Tujuan penulisan adalah mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan dalam Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan terkait mengenai hanya satu organisasi profesi dan untuk mengetahui bagaimana Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan dalam perspektif konstitusi. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan mengatur tentang pembentukan hanya satu organisasi profesi. Hal ini dilatarbelakangi oleh peran dan fungsi dari organisasi profesi, sehingga tidak mengurangi hak seseorang untuk berserikat dan berkumpul.
Penulis: Meirina Fajarwati, S.H., M.H.
Abstrak:
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini membuat pemerintah mengambil langkah untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU No. 17 Tahun 2016) yang di dalamnya memuat sanksi pidana kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Namun keberadaan kebiri kimia ini menemui berbagai penolakan salah satunya dari eksekutorial kebiri kimia. Berdasarkan permasalahan tersebut maka tulisan ini akan mengkaji mengenai bagaimana dasar pertimbangan pengaturan kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan bagaimana pengaturan kebiri kimia berdasarkan UU No. 17 Tahun 2016 ditinjau dari asas dapat dilaksanakannya suatu undang-undang. Tulisan ini juga bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan pengaturan kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan pengaturan kebiri kimia berdasarkan UU No. 17 Tahun 2016 ditinjau dari asas dapat dilaksanakannya suatu undang-undang. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yakni yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa: Pertama, kebiri kimia diharapkan dapat memberikan efek jera dan menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua, pengaturan kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 tidak mencerminkan asas dapat dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Berdasarkan kesimpulan tersebut diperoleh suatu saran yaitu untuk mengurangi kasus kekerasan seksual pada anak maka aparat penegak hukum harus menjatuhkan sanksi yang maksimal bagi pelaku.
Penulis: Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H.
Abstrak:
Sebagai daerah otonom, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang telah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal harus dikelola dan ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi masih dihadapkan pada persoalan kesadaran wajib pajak yang relatif masih rendah sehingga memerlukan peran dan upaya aparat pemungut pajak. Sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, khususnya dalam menggali dan mengelola seluruh potensi pajak dan retribusi, pemerintah daerah dapat memberikan insentif sebagai tambahan penghasilan bagi instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi yang mencapai kinerja tertentu. Berdasarkan latar belakang tersebut maka terdapat permasalahan mengenai perbedaan pelaksanaan insentif dengan upah pungut serta fungsi dari insentif untuk instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya. Metode penulisan yang digunakan yaitu metode hukum normatif. Spesifikasi penulisan adalah deskriptif analitis. Metode analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif. Pemberian insentif sebagai pendorong bagi aparat pemungut pajak untuk meningkatkan kinerja dalam memungut pajak, dengan demikian pemberian insentif diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah. Pemberian Insentif diharapkan mampu membuat aparat termotivasi sehingga dapat bekerja dengan jujur, bersih, dan bertanggungjawab. Sehingga pemberian insentif pemungutan tidak hanya sebagai reward dan tambahan penghasilan kepada petugas pemungut, juga sebagai sarana bagi instansi pemungut pajak di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan tentunya juga untuk meningkatkan penerimaan pendapatan daerah.
Penulis: Chairul Umam, S.H., M.H.
Abstrak:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU tentang Penjaminan) telah diundangkan tahun 2016 lalu. Namun demikian secara normatif, Undang-Undang tentang Penjaminan masih menyimpan persoalan terutama keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU tentang Perasuransian) dan praktiknya yang sudah berjalan sebelum adanya UU tentang Penjaminan. Permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini mengenai bagaimana penjaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU tentang Penjaminan serta apa permasalahan dan persinggungannya dengan UU tentang Perasuransian. Tujuan penulisan untuk mengetahui penjaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU tentang Penjaminan serta permasalahan dan persinggungannya dengan UU tentang Perasuransian. Metode penulisan disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji dan menganalisis perundang-undangan di bidang penjaminan dan di bidang perasuransian serta berbagai referensi terkait lainnya. Berdasarkan analisis dalam kajian ini disimpulkan bahwa perlu segera dilakukan revisi terbatas terhadap norma pasal dalam UU tentang Perasuransian yang akan berdampak pada sektor usaha penjaminan dan usaha jasa keperantaraan/pialang dan usaha reasuransi yang masih melakukan usaha di sektor penjaminan harus melepaskan usahanya untuk menghindari tumpang tindih dan demi terwujudnya kepastian hukum di sektor usaha penjaminan.
Penulis: Akhmad Aulawi, S.H., M.H.
Abstrak:
Pemerintah Pusat telah menetapkan beberapa kebijakan penanaman modal untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional dan mempercepat peningkatan penanaman modal. Salah satu kebijakannya melalui ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) (PP No. 24 Tahun 2018). Namun demikian penetapan PP No. 24 Tahun 2018 ini dianggap masih terdapat beberapa pertentangan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU tentang Penanaman Modal). Adapun permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini adalah bagaimana pendelegasian kewenangan PP No. 24 Tahun 2018 terhadap UU tentang Penanaman Modal, otoritas perizinan penanaman modal pasca berlakunya PP No. 24 Tahun 2018, serta implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal. Tujuan dalam penulisan ini untuk mengetahui pendelegasian kewenangan PP No. 24 Tahun 2018 terhadap UU tentang Penanaman Modal, otoritas perizinan penanaman modal pasca berlakunya PP No. 24 Tahun 2018, serta implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal. Metode penulisan ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Setelah dianalisis diketahui bahwa keberlakuan PP No. 24 Tahun 2018 tidak diperintahkan secara langsung oleh UU tentang Penanaman Modal. Selanjutnya terdapat dualisme otoritas perizinan dalam kegiatan penanaman modal. Selain itu terdapat implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal yang telah berlangsung.
Penulis: Febri Liany, S.H., M.H.
Abstrak:
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU tentang Kepailitan) tidak mengatur dengan tegas kedudukan dan prioritas kreditor dalam kepailitan. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam praktik pembagian harta pailit kepada para kreditor. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan prioritas kreditor dalam kepailitan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan data sekunder yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil tulisan ini menunjukkan bahwa dalam UU tentang Kepailitan, kedudukan para kreditor menjadi tumpang tindih. Para kreditor dalam undang-undang sektor memiliki kedudukan kuat untuk didahulukan. Hal ini menjadi masalah apabila harta pailit tidak cukup dalam membayar seluruh tagihan, kreditor mana yang akan didahulukan dalam pembayaran piutangnya. Oleh karena itu perlu pengaturan mengenai prioritas kedudukan kreditur dalam kepailitian dalam UU tentang Kepailitan. Menurut penulis urutan prioritas kreditor dalam kepailitan yaitu: Pertama, pembayaran upah buruh, Kedua, kreditor separatis, dan Ketiga, kreditor piutang pajak.
Penulis: Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
Abstrak:
Hedging merupakan praktik yang biasa digunakan oleh pelaku ekonomi khususnya di industri keuangan, dengan tujuan memitigasi resiko pergerakan aset keuangan seperti nilai tukar, dengan melaksanakan hedging maka besarnya resiko yang terjadi akibat volatilitas nilai tukar yang dihadapi di masa mendatang dapat diminimalisir dan diperhitungkan di masa sekarang. Di Indonesia, upaya untuk meminimalisir faktor risiko yang dihadapi akibat perbedaan nilai tukar tersebut di atur dalam beberapa instrumen hukum seperti peraturan Menteri maupun peraturan Bank Indonesia. Akan tetapi dalam tataran praktik, penerapan peraturan mengenai hedging itu tidaklah mudah. Selain terdapatnya perbedaan antara aturan yang satu dengan yang lain, ketidakpahaman pengambil kebijakan dalam perusahaan pun mendorong keengganan untuk menerapkan fasilitas jaminan hedging ini. Berdasarkan uraian tersebut terdapat permasalahan mengenai bagaimana implikasi hukum pemberian fasilitas hedging terhadap utang luar negeri badan usaha dan bagaimana upaya perbaikan regulasi pemberian fasilitas hedging yang telah ada. Adapun tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui implikasi hukum pemberian fasilitas hedging terhadap utang luar negeri badan usaha sekaligus untuk mengetahui upaya perbaikan regulasi terkait hedging tersebut. Pembahasan dalam penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji substansi dan hukum positif yang mengatur mengenai pemberian fasilitas hedging kepada badan usaha yang ternyata belum diterapkan secara efektif. Simpulan dari permasalahan ini adalah ketidakseragaman pengaturan pelaksana mengenai pemberian fasilitas hedging antar tiap lembaga berimbas kepada ketaatan dan keteraturan badan usaha untuk ikut serta dalam pemberian jaminan lindung nilai itu sendiri sehingga perbaikan regulasi lindung nilai merupakan suatu keharusan.
Penulis: Arif Usman, S.H., M.H.
Abstrak:
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen makanan halal terbesar pula. Kehadiran negara dalam perlindungan dan jaminan kehalalan produk dijawab melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU tentang Jaminan Produk Halal) yang mewajibkan sertifikasi halal ini mulai berlaku pada tahun 2019. Beberapa ketentuan dalam UU tentang Jaminan Produk Halal berpotensi menimbulkan pelanggaran Technical Barriers To Trade (TBT) Agreement dalam World Trade Organization (WTO) karena Indonesia merupakan Negara anggota WTO maka perilaku perdagangan Indonesia harus tunduk pada aturan yang berlaku pada WTO. Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah potensi pelanggaran apa saja yang dapat dilanggar dalam UU tentang Jaminan Produk Halal terhadap ketentuan TBT. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mengetahui potensi pelanggaran apa saja yang dapat dilanggar dalam UU tentang Jaminan Produk Halal terhadap ketentuan TBT. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa potensi pelanggaran dalam UU tentang Jaminan Produk Halal khususnya Pasal 4 dan Pasal 47 terhadap ketentuan TBT adalah pelanggaran terhadap Pasal 2.1 TBT yang mengatur tentang non diskriminasi, Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 8 TBT yang mengatur mengenai prosedur penilaian kesesuaian.
Penulis: Zaqiu Rahman, S.H., M.H.
Abstrak:
Salah satu moda transportasi yang saat ini banyak digunakan masyarakat adalah sepeda motor. Penggunaan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum masih kontroversial dan melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Secara sosiologis, sepeda motor sudah aktif difungsikan sebagai kendaraan bermotor perseorangan ataupun umum. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan sepeda motor dan pemanfaatannya sebagai kendaraan bermotor umum dan bagaimana kajian yuridis diskursus pengaturan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum dimasa yang akan datang. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif, yang dilakukan melalui studi kepustakaan terkait pengaturan dan keberadaan sepeda motor. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur status sepeda motor sebagai kendaraan bermotor, hanya saja tidak termasuk dalam kelompok kendaraan yang berfungsi sebagai kendaran bermotor perseorangan dan kendaraan bermotor umum. Tetapi, pemanfaatan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum sudah lazim digunakan di masyarakat. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan, apakah akan melarang sepeda motor difungsikan sebagai kendaraan bermotor umum atau akan melegalisasinya dalam perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Penulis: Arrista Trimaya, S.H., M.H.
Abstrak:
Partisipasi aktif bangsa Indonesia sebagai anggota Konvensi Jenewa Tahun 1949 menimbulkan konsekuensi untuk mengimplementasikan isi ketentuan Konvensi Jenewa tersebut ke dalam hukum nasional. Sebelumnya, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai bentuk pengaturan mengenai penggunaan lambang Palang Merah, namun dalam implementasinya masih banyak terjadi pelanggaran. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan (UU tentang Kepalangmerahan). Pemberlakuan UU tentang Kepalangmerahan bertujuan untuk mengatur penyelenggaraan kepalangmerahan di Indonesia secara komprehensif.Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana analisis yuridis pengaturan penggunaan lambang Palang Merah sebelum dan sesudah pemberlakuan UU tentang Kepalangmerahan. Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui pengaturan penggunaan lambang Palang Merah sebelum dan sesudah pemberlakuan UU tentang Kepalangmerahan. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan serta buku yang terkait dengan penyelenggaraan kepalangmerahan. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, kesimpulan dari penulisan ini yaitu pemberlakuan UU tentang Kepalangmerahan terutama bertujuan untuk mengatur penyelenggaraan kepalangmerahan di Indonesia secara komprehensif, mulai dari ketentuan penggunaan lambang Palang Merah, pihak yang berhak menggunakan lambang, fungsi lambang sebagai tanda pengenal dan tanda pelindung, tugas dan wewenang perhimpunan nasional, larangan penyalahgunaan lambang, serta sanksi yang diberikan kepada setiap orang yang menyalahgunakan lambang Palang Merah.
Penulis: Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M.
Abstrak:
Abstrak
Air dan sumber daya air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi hajat hidup orang banyak. Pengelolaan sumber daya air di Indonesia sebelumnya diatur dalam UU tentang SDA, namun kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konsitusi. Saat ini landasan hukum pengaturan sumber daya air kembali menggunakan UU tentang Pengairan. Mengingat persoalan yang dihadapi sudah tidak dapat lagi diatasi dengan UU tentang Pengairan, maka harus segera dibentuk suatu undang-undang yang menggantikan UU tentang SDA. Dalam pengaturannya kelak, sumber daya air seharusnya dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Setidaknya pengelolaan sumber daya air harus memperhatikan aspek penguasaan negara terhadap sumber daya air, pemenuhan hak rakyat atas air, dan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Ketiga hal ini merupakan aspek yang diturunkan dari nilai ketuhanan dan keadilan sosial dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Penulis: Meirina Fajarwati, S.H., M.H.
Abstrak:
Peningkatan jumlah kendaraaan bermotor menyebabkan kemacetan di ruas jalan Jakarta. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pengendalian Lalu Lintas dengan Pembatasan Kendaraan Bermotor Melalui Sistem Jalan Berbayar Elektronik (Pergub No. 25 Tahun 2017) yang mengatur jenis dan tarif kendaraan yang dapat melewati wilayah tersebut. Namun jenis kendaraan yang dikenakan tarif layanan dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (yang selanjutnya disebut PP No. 97 Tahun 2012). Permasalahan yang akan dikaji yaitu bagaimana pengaturan manajemen kebutuhan lalu lintas melalui penerapan jalan berbayar elektronik dan bagaimana pengaturan jalan berbayar elektornik dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tulisan bertujuan untuk mengetahui pengaturan manajemen kebutuhan lalu lintas melalui penerapan jalan berbayar elektronik dan pengaturan jalan berbayar elektornik dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif. Manajemen kebutuhan lalu lintas salah satunya dilakukan dengan cara pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan dan barang pada koridor/kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu. Dalam praktiknya terdapat ketidakselarasan mengenai objek retribusi pengendalian lalu lintas yang tercantum dalam peraturan gubernur dan peraturan pemerintah dan hal ini tidak sejalan dengan konsep hierarki peraturan perundang-undangan yang dianut indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung.
Penulis: Arif Usman, S.H., M.H.
Abstrak:
Berkembangnya industri fintech di Indonesia didukung oleh makin meningkatnya jumlah pengguna internet dan smartphone di Indonesia, satu sisi memberikan keuntungan kepada konsumen, karena konsumen mendapatkan peluang yang lebih luas untuk mengakses jasa yang diinginkan. Namun, di sisi lain kondisi ini juga memberikan kemungkinan yang negatif untuk penegakan hukum pelindungan konsumen. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah bentuk pelindungan hukum bagi nasabah fintech dan apa bentuk penyelesaian sengketa antara nasabah fintech dan perusahaan pemberi pinjaman. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum bagi nasabah fintech dan bentuk penyelesaian sengketa. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber kepustakaan yang terdiri dari berbagai literature terkait dengan pengaturan fintech serta mengkaji naskah pendukungnya dari berbagai peraturan perundang-undangan. Kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah OJK telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait pelindungan konsumen Fintech yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan POJK No. 13 /POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Adapun pokok-pokok ketiga POJK tersebut mengatur mengenai mekanisme pencatatan dan pendaftaran fintect, mekanisme pemantauan dan pengawasan fintech, pembentukan ekossitem fintech,membangun budaya inovasi, dan inklusi dan literasi seta bentuk penyelesaian sengketa mekanisme Internal Dispute Resolution (IDR), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dan fasilitasi terbatas dari OJK.
Penulis: Bagus Prasetyo, S.H., M.H.
Abstrak:
Pemajuan kebudayaan dan pariwisata memiliki pola yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam memajukan perekonomian nasional. Setiap sektor tersebut memiliki peraturan sebagai landasan hukum. Apabila peraturan antara sektor pariwisata dengan sektor kebudayaan tidak harmonis, setiap sektor akan terhambat untuk mencapai tujuannya. Dengan adanya potensi terjadinya benturan kepentingan maka kehadiran hukum diperlukan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, bagaimana harmonisasi antara pengaturan pengelolaan kepariwisataan dan pemajuan kebudayaan dalam menunjang peningkatan perekonomian di Indonesia penting untuk diketahui. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Secara filosofis, baik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU tentang Kepariwisataan) maupun Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU tentang Pemajuan Kebudayaan) memiliki tujuan yang sama yaitu melalui pengaturan dari kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang salah satunya untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Beberapa definisi dalam kedua Undang-Undang tersebut bila ditafsirkan baik secara gramatikal, sistematikal, dan ektensif serta restriktif juga telah terdapat keselarasan serta mencerminkan korelasi antara kebudayaan dan pariwisata yang tergambar bahwa hubungan antara budaya dan pariwisata memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat. Beberapa nilai serta antara asas dan tujuan dari pemajuan kebudayaan dan kepariwisataan dalam kedua undang-undang tersebut juga telah harmonis. Dengan berbagai keselarasan tersebut maka pengaturan pengelolaan pariwisata berdasarkan UU tentang Kepariwisataan dan pemajuan kebudayaan berdasarkan UU tentang Pemajuan Kebudayaan dalam menunjang peningkatan perekonomian di Indonesia dapat dikatakan berjalan secara harmonis dan diharapkan penerapannya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Penulis: Kuntari, S.H., M.H.
Abstrak:
Keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU tentang Tapera) diharapkan akan memberi akses lebih mudah bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memiliki rumah layak. Pasal 65 UU tentang Tapera menjamin adanya hak peserta atas pemanfaatan dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU tentang Tapera Pegawai Negeri Sipil (PNS) diasumsikan berpenghasilan di atas Upah Minimum Regional (UMR) dan kepesertaannya dalam Tapera bersifat wajib. Akan tetapi, tidak semua PNS berhak atas dana Tapera karena Pasal 27 UU tentang Tapera mengatur bahwa fasilitas pembiayaan Tapera hanya bagi peserta Tapera yang memenuhi persyaratan. Ketiadaan peraturan pelaksanaan UU tentang Tapera juga akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi PNS untuk dapat mengakses hak pemanfaatan dana Tapera. Metode penulisan yaitu hukum normatif, penyajian penulisan dilakukan secara deskriptif analitis dengan membandingkan hak PNS sebelum dan setelah berlakunya UU tentang Tapera serta menggambarkan implikasinya bagi PNS. Sebelum UU tentang Tapera lahir, seluruh PNS Golongan I, Golongan II, dan Golongan III seketika berhak memperoleh hak pemanfaatan dana tabungan untuk pembiayaan perumahan yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum). UU tentang Tapera menempatkan PNS sebagai peserta wajib yang berpenghasilan di atas UMR namun tidak serta merta berhak mengakses hak atas pemanfaatan dana Tapera untuk pembiayaan rumah karena harus terlebih dahulu memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Agar jelas pelaksanaan hak PNS atas pemanfaatan dana Tapera maka perlu segera dibentuk peraturan pelaksanaan dari UU tentang Tapera.
Penulis: Atisa Praharini, S.H., M.H.
Abstrak:
Teknologi informasi yang semakin berkembang menciptakan berbagai variasi bentuk strategi promosi kosmetik di media sosial antara lain melalui endorsement di Instagram. Artis, selebgram, ataupun public figure yang meng-endorse produk kosmetik bernarasi sedemikian rupa agar pengikut (follower) nya tertarik membeli produk yang di-endorse-nya. Hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana promosi produk kosmetik melalui Instagram dalam perspektif hukum perlindungan konsumen. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui promosi produk kosmetik melalui endorsement di Instagram dalam perspektif hukum perlindungan konsumen. Metode penulisan yang digunakan adalah metode analisis yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen. Berdasarkan analisis dalam kajian ini disimpulkan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang jelas dari promosi produk kosmetik melalui endorsement di Instagram dan artis, selebgram, ataupun public figure yang mengendorse produk kosmetik wajib memberikan informasi yang jelas dalam endorsementnya.
Penulis: Chairul Umam, S.H., M.H.
Abstrak:
Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak Dan Karya Rekam (UU tentang SSKCKR) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak Dan Karya Rekam memberikan harapan baru bagi optimalisasi kewajiban legal deposit di Indonesia. Namun minimnya pengaturan pelindungan hak cipta dalam UU tentang SSKCKR menimbulkan kekhawatiran akan keamanan koleksi legal deposit dari penyalahgunaan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana UU tentang SSKCKR mengatur pelindungan hak cipta koleksi legal deposit, pengaturan legal deposit dan pelindungan hak ciptanya dalam praktik internasional, serta model pengaturan pelindungan hak cipta koleksi legal deposit yang dapat diterapkan di Indonesia. Tulisan ini bertujuan mengetahui tentang pengaturan legal deposit dalam UU tentang SSKCKR dan praktik internasional hak cipta legal deposit serta model yang diterapkan di Indonesia melalui metode studi kepustakaan dan disajikan secara deskriptif analitis. Kajian menemukan bahwa pengaturan UU tentang SSKCKR belum memberikan pelindungan hak cipta yang memadai terhadap koleksi legal deposit seperti yang terdapat dalam praktik internasional di beberapa negara. Walaupun terdapat pelindungan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU tentang Hak Cipta), namun masih belum menjangkau seluruh aspek pelindungan hak cipta terutama yang terkait dengan pengelolaan koleksi legal deposit sehingga jika tidak diantisipasi dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam peraturan pelaksanaan UU SSKCKR, pelindungan hak cipta koleksi legal deposit di Indonesia dapat mengacu ketentuan praktik internasional yang ada. Pelindungan hak cipta koleksi legal deposit yang dapat dijadikan acuan diantaranya yaitu yang terkait pelestarian, pengolahan, dan pendayagunaan koleksi legal deposit.
Penulis: Olsen Peranto, S.H.
Abstrak:
FIFA merupakan organisasi privat internasional yang memiliki instrumen hukum yaitu Statuta FIFA yang harus ditaati oleh para anggotanya. Sebagai organisasi induk yang bersifat tunggal yang membidangi sepakbola secara global maka FIFA menerapkan prinsip non-intervensi terhadap pihak ketiga. PSSI merupakan anggota FIFA dan tunduk pada ketentuan Statuta FIFA. Prinsip non-intervensi mengatur bahwa setiap anggota FIFA harus mengurusi organisasinya secara independen tanpa dipengaruhi oleh pihak ketiga. Akibat maraknya pengaduan masyarakat tentang dugaan pengaturan skor di Liga Indonesia musim 2018 maka dibentuk Satgas Anti Mafia Bola pada tanggal 21 Desember 2018. Pengaturan Skor diatur dalam Statuta FIFA, Statuta PSSI, dan Kode Disiplin PSSI. Satgas Anti Mafia Sepakbola memproses secara pidana para oknum yang diduga pelaku pengaturan skor menggunakan mekanisme hukum nasional. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tindakan satgas dalam memberantas pengaturan skor menurut Prinsip non- intervensi dalam Statuta FIFA dan Statuta PSSI serta bagaimana sebaiknya penegakan hukum terhadap kasus pengaturan skor. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan Satgas dalam pemberantasan pengaturan skor yang memproses para pelaku dengan menggunakan mekanisme hukum nasional dengan mendahului mekanisme Statuta PSSI merupakan bentuk campur tangan terhadap urusan internal PSSI sebab pengaturan skor pada prinsipnya ada dalam ranah Statuta FIFA, Statuta PSSI, dan Kode Disiplin PSSI. Tindakan Satgas dapat dibenarkan dalam keadaan tertentu sebagai bentuk pengecualian dari prinsip non-intervensi. Sekalipun terdapat kelemahan pengaturan dalam Statuta PSSI namun penegakan hukum melalui mekanisme hukum nasional dapat diterapkan apabila telah melalui mekanisme aturan PSSI ataupun setelah adanya persetujuan dari PSSI khususnya terhadap pelaku internal.
Penulis: Arrista Trimaya, S.H., M.H.
Abstrak:
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU tentang Guru dan Dosen), mengatur bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pada kenyataannya, masih banyak persoalan penting terkait guru dalam implementasi UU tentang Guru dan Dosen, antara lain belum diaturnya Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara sistematis dan komprehensif. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyelenggaraan PPG yang diatur dalam UU tentang Guru dan Dosen serta bagaimana kendala implementasinya; dan bagaimana upaya mendesain ulang PPG untuk mewujudkan penguatan kompetensi guru secara optimal. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk mengetahui penyelenggaraan PPG yang diatur dalam UU tentang Guru dan Dosen serta kendala implementasinya; dan untuk mengetahui upaya mendesain ulang PPG untuk mewujudkan penguatan kompetensi guru secara optimal. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan hasil pengumpulan data yang terkait dengan penyelenggaraan PPG. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, pengaturan PPG yang tidak sistematis dan komprehensif tersebut mengakibatkan guru memiliki keterbatasan dalam penguasaan kompetensi sehingga kualitas dan mutu guru masih dianggap rendah. Simpulan tulisan ini yaitu beberapa hal yang menjadi kendala dalam implementasi PPG disebabkan belum terintegrasinya pendidikan akademik dan PPG, terbatasnya sarana dan prasarana Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), serta belum maksimalnya peran Pemerintah dan organisasi profesi. Dengan demikian, perlu upaya mendesain ulang PPG agar tercipta lulusan PPG yang kompeten dan berintegritas untuk menjadi guru yang profesional.
Kata kunci: guru, pendidikan profesi guru, kompetensi, profesional
Penulis: Nita Ariyulinda, S.H., M.H.
Abstrak:
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU tentang Penyandang Disabilitas) mengatur mengenai hak penyandang disabilitas, salah satu hak nya yakni hak pekerjaan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk mempekerjakan Penyandang Disabilitas disesuaikan dengan kemampuan dan kedisabilitasan. Namun pada kenyataannya di Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak dua persen dari jumlah pegawai atau karyawan dan muncul permasalahan berupa adanya penolakan bagi penyandang disabilitas saat melamar menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dikarenakan kedisabilitasannya. Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan terkait bagaimanakah pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam rekrutmen calon pegawai negeri sipil berdasarkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU tentang ASN) dan upaya apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam perekrutan CPNS. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimanakah pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam rekrutmen calon pegawai negeri sipil berdasarkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dan UU tentang ASN dan upaya apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam perekrutan CPNS. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Terjadinya penolakan atau pembatalan status CPNS penyandang disabilitas karena kedisabilitasannya yang dilakukan oleh pemberi kerja bertentangan dengan UU tentang Penyandan Disabilitas, UU tentang ASN serta peraturan pelaksananya. Oleh sebab itu Pemerintah harus melakukan upaya agar permasalahan serupa tidak terulang kembali.
Kata kunci: penyandang disabilitas, hak bekerja, calon pegawai negeri sipil
Penulis: Nova Manda Sari, S.H., M.H.
Abstrak:
Indonesia merupakan negara rawan bencana sehingga disebut juga negara cincin api. Sejak gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, Indonesia belum memiliki sistem nasional penanggulangan bencana. Atas usul inisiatif DPR disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun terdapat permasalahan dalam pengaturan maupun implementasi, diantaranya belum ada pengaturan peran serta relawan bencana. Saat ini, atas usul inisiatif DPR menyetujui untuk membentuk rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana sebagai pengganti UU tentang Penanggulangan Bencana. Selama ini hanya ada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Permasalahannya, apa yang menjadi urgensi pengaturan peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana? Apa materi muatan yang perlu diatur terkait peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui urgensi pengaturan peran serta relawan bencana dan materi muatan yang perlu diatur terkait peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Urgensinya disini agar Indonesia memiliki relawan bencana yang berkompeten, berdayaguna dan memliki payung hukum. Materi muatan yang perlu diatur antara lain: calon relawan bencana harus bergabung dalam organisasi relawan bencana; relawan bencana terdiri dari relawan bencana ahli dan/atau tersertifikasi; pendataan relawan bencana oleh organisasi relawan bencana; dan adanya jaminan pelindungan relawan bencana dari Pemerintah yang terdiri dari pelindungan hukum, sosial,dan kesehatan.
Kata kunci: relawan bencana, penanggulangan bencana, rancangan undang-undang
Penulis: Sutriyanti, S.H., M.H.
Abstrak:
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebanyak 4 (empat) kali telah menempatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Amandemen tersebut juga menyebabkan berkurangnya kewenangan MPR yaitu salah satunya menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). Namun kini GBHN mulai dibicarakan kembali dan MPR berencana untuk menghidupkan kembali GBHN dengan nama baru pokok-pokok haluan negara (PPHN) sebagai panduan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan MPR dalam merumuskan PPHN dan bagaimana konsekuensi logis pilihan instrumen perumusan dan penetapan PPHN yang dibuat oleh MPR. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui kewenangan MPR dalam merumuskan PPHN dan konsekuensi logis pilihan instrumen perumusan dan penetapan PPHN yang dibuat oleh MPR. Tulisan ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Menghadirkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menghadapi berbagai tantangan legalitas dikarenakan MPR tidak lagi memiliki kewenangan membuat produk hukum yang bersifat mengikat keluar. Konsekuensi pilihan instrumen hukum untuk memperkuat PPHN dengan meletakkannya dalam undang-undang ataupun mengamandemen lagi UUD NRI Tahun 1945. Apabila PPHN tidak mempunyai payung hukum yang kuat, PPHN akan sulit menjadi pedoman kehidupan bernegara karena tidak akan ditaati oleh lembaga negara dan pemerintah daerah.
Kata kunci: kewenangan, haluan negara, perencanaan, pembangunan nasional
Penulis: Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H.
Abstrak:
Pengaturan mengenai ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah). Namun demikian dalam pelaksanaannya belum mampu menjamin hak jemaah haji sebagai konsumen jasa dari Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), khususnya dalam aspek pembinaan, pelayanan (transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kesehatan), dan pelindungan terhadap jemaah haji. Tulisan ini bertujuan untuk memahami masalah yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah dan pelindungan konsumennya. Dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan, tulisan ini menyimpulkan bahwa permasalahan ibadah haji dengan visa mujamalah terjadi karena visa mujamalah sulit diketahui jumlah dan distribusinya oleh pemerintah serta belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah perlu segera membentuk peraturan menteri agama untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak konsumen, melakukan pengawasan, sosialisasi dan pembinaan terhadap konsumen, serta melakukan penegakan sanksi administratif yang tegas sesuai undang-undang.
Kata kunci: ibadah haji, visa mujamalah, pelindungan konsumen
Penulis: Bagus Prasetyo, S.H., M.H.
Abstrak:
Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Namun, salah satu peristiwa di bidang ketenagakerjaan yang selalu menjadi polemik di setiap akhir tahun yaitu mengenai ketetapan naiknya upah minimum. Salah satu cara pemerintah dalam membantu dunia usaha dan pekerja yaitu dengan membuat suatu sistem sehingga ada kepastian mengenai kenaikan upah setiap tahunnya. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan bagaimana pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pangaturan mengenai upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan terdapat pada BAB X khususnya dalam bagian kedua, dari pasal 88 sampai dengan pasal 98. Pemerintah melalui UU tentang Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 yang mengatur mengenai upah minimum telah memberikan dasar hukum sebagai upaya memberikan penghasilan yang layak bagi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaturan upah minimun sebagai jaring pengaman sosial merupakan upaya agar setiap tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peran negara untuk melindungi pihak yang lemah, yang dalam hal ini adalah buruh melalui hukum/peraturan perundang-undangan dan pengaturan upah minimum dalam UU tentang ketenagakerjaan merupakan bentuk pengejewantahan dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kata kunci: konstitusi, ketenagakerjaan, pesangon
Penulis: Arif Usman, S.H., M.H.
Abstrak:
Dalam rangka mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang diatur berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebut saat ini diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD). Sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali permohonan pengujian UU tentang PDRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan hanya 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim. Salah satu putusan yang dikabulkan oleh MK yaitu Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 terkait dengan pengenaan pajak alat-alat berat dan besar. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 berimplikasi yuridis bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor sehingga tidak bisa dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD.
Kata kunci: pajak daerah dan retribusi daerah, pajak kendaraan bermotor, alat berat
Penulis: Aryani Sinduningrum, S.H., M.H.
Abstrak:
Pengertian asuransi adalah perjanjian pertanggungan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis dengan tujuan mengalihkan risiko pemegang polis kepada perusahaan asuransi dan pemegang polis wajib untuk melakukan pembayaran premi kepada perusahaan asuransi. Walaupun asuransi bermanfaat mengalihkan risiko, tapi dalam kegiatan perasuransian ini juga memiliki potensi risiko yaitu gagal bayar terhadap klaim dari pemegang polis. Tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui mekanisme ganti kerugian terhadap pemegang polis apabila perusahaan asuransi di likuidasi dan dampak hukum belum terbentuknya Lembaga Penjamin Polis. Tulisan ini menyimpulkan bahwa mekanisme ganti kerugian terhadap pemegang polis apabila perusahaan asuransi dilikuidasi adalah dalam kondisi belum adanya Lembaga Penjamin Polis maka menggunakan dana asuransi, apabila dana asuransi tidak cukup dapat menggunakan dana jaminan. Jika dana jaminan ini ternyata tidak cukup juga maka ditempuh penyelesaian dengan cara pembayaran kepada pemegang polis dalam kedudukannya sebagai kreditur preferen yang akan diutamakan. Saran dari Penulis adalah untuk segera membentuk Lembaga Penjamin Polis bersama pihak-pihak terkait serta menyusun landasan hukumnya dan menjadikan skema pembayaran dalam Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga terdahulu yang sudah ada untuk diadopsi pada Lembaga Penjamin Polis dengan berbagai penyesuaian. Sementara itu, dampak hukum dari belum terbentuknya Lembaga Penjamin Polis berdasarkan undang-undang adalah tidak ada perlindungan hukum yang kuat kepada pemegang polis, mengganggu stabilitas perekonomian negara jika pemerintah terpaksa harus melakukan bailout, menjadi preseden buruk di industri perasuransian dan dapat mengakibatkan industri asuransi collaps, serta amanat dari Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian belum terimplementasi dengan baik. Kata kunci: perasuransian, polis, penjaminan
Penulis: Dahlia Andriani, S.H., .M.H.
Abstrak:
Pembatasan terhadap kegiatan penanaman modal asing (PMA) merupakan salah satu bentuk pelindungan terhadap kepentingan nasional sehingga tidak semua bidang usaha terbuka untuk PMA. Bidang usaha sektor komunikasi dan informatika merupakan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu yaitu batasan kepemilikan modal asing, salah satunya jasa akses internet dengan maksimal 67% kepemilikan asing yang sebelumnya 49%. Pembatasan nilai kepemilikan modal asing meningkat seiring dengan arah kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan penanaman modal. Jika pembatasan modal asing terus dilonggarkan, maka hal tersebut dapat mengganggu upaya pelindungan terhadap kepentingan nasional khususnya di bidang ekonomi. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU tentang Penanaman Modal) yang memberikan pelindungan terhadap kepentingan nasional dan pengaturan pembatasan kepemilikan modal asing pada bidang usaha sektor komunikasi dan informatika terhadap kepentingan nasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam UU tentang Penanaman Modal telah mengatur mengenai pelindungan kepentingan nasional dan saat ini pengaturan pembatasan kepemilikan asing pada bidang usaha komunikasi dan informatika didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres No. 44 Tahun 2016) yang sudah mencerminkan pelindungan terhadap kepentingan nasional di bidang ekonomi.
Kata kunci: penanaman modal, pembatasan kepemilikan modal asing, kepentingan nasional
Penulis: Arrista Trimaya, S.H., M.H.
Abstrak:
Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia mengharuskan Pemerintah untuk segera mengambil sikap dalam mencegah penularan yang lebih luas di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Pemerintah mengambil kebijakan berupa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi Covid-19 dan masih menerapkan pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran baru 2020/2021. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sistem Pendidikan Nasional) serta bagaimana kendala implementasinya; dan bagaimana upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta kendala implementasinya; dan untuk mengetahui upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan laporan panitia kerja pembelajaran jarak jauh Komisi X DPR RI. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, diperoleh simpulan bahwa beberapa hal yang menjadi kendala implementasi pembelajaran jarak jauh, yaitu kurangnya kesiapan sumber daya manusia (meliputi pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik), penerapan kurikulum yang belum sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19, dan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran jarak jauh. Dengan demikian perlu upaya penyempurnaan konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Peraturan Menteri mengenai pedoman penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh atau dapat juga dengan memasukkan materi muatan mengenai pembelajaran jarak jauh melalui perubahan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penulis: Noor Ridha Widiyani, S.H.
Abstrak:
Wabah penyakit virus korona baru di akhir tahun 2019 (COVID-19) yang kini telah menjadi pandemi merupakan fenomena virus yang bertransmisi dari inang hewan ke manusia dan dapat disebut sebagai bagian dari cross-species hop yaitu a spillovere event. Hasil penelitian terhadap COVID-19 menunjukan bahwa virus korona ini memiliki 93.3% kemiripan dengan virus korona yang tejangkit di kelelawar yang merupakan satwa liar. Transmisi virus dari inang hewan ke manusia disebut zoonosis yang dapat terjadi baik karena konsumsi satwa liar maupun hilangnya habitat satwa liar akibat tindakan manusia sehingga satwa liar terpaksa harus tinggal dekat dengan manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian terkait bagaimana pengaturan mengenai konsumsi satwa liar penyebab zoonosis yang sudah berlaku saat ini serta bagaimana pengaturan yang diperlukan dalam rangka pencegahan zoonosis penyebab munculnya penyakit infeksi emerging. Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis normatif dengan cara studi kepustakaan atau data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa di Indonesia, berbagai pengaturan sektoral yang spesifik mengatur tentang wabah dan zoonosis belum ada yang mengatur secara spesifik larangan konsumsi satwa liar yang dapat menjadi inang patogen zoonosis. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penambahan norma yang tegas melarang konsumsi satwa liar agar dengan adanya larangan konsumsi maka tidak akan ada permintaan terhadap satwa liar atau peralihan satwa liar dari habitat aslinya ke wilayah yang berdekatan dengan manusia.
Penulis: Olsen Peranto, S.H.
Abstrak:
Lembaga suaka hidup dalam praktik hubungan antar bangsa dan dihormati sebagai suatu kebiasaan internasional khususnya di kawasan regional Amerika Latin. Suaka diplomatik diberikan oleh perwakilan asing kepada seseorang yang mencari perlindungan dari pemerintah negara tempat perwakilan asing tersebut berada. Pemerintah Ekuador mencabut suaka diplomatik terhadap Assange atas dasar Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 karena Assange dianggap telah mengintervensi urusan internal negara lain dan melanggar protokol kedutaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pencabutan tersebut dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 serta bagaimanakah pencabutan tersebut apabila dikaitkan dengan kasus-kasus internasional lainnya. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan Ekuador yang mencabut suaka diplomatik terhadap Assange tidak dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 sebab tidak ada pengaturan dalam konvensi tersebut mengenai pencabutan suaka dan tidak ada pengaturan dalam konvensi itu bahwa pelanggaran terhadap tindakan mengintervensi urusan internal negara lain dan pelanggaran terhadap protokol kedutaan itu dapat berujung pada pencabutan suaka. Pencabutan suaka yang diikuti dengan masuknya aparat hukum Inggris ke Kedutaan Ekuador untuk menangkap Assange juga tidak dapat dibenarkan karena jelas mencederai keselamatan si pesuaka yang dilindungi dalam prinsip-prinsip suaka. Dalam praktik suaka, kasus Assange adalah kasus yang jarang terjadi dan mungkin menjadi kasus pertama yang mana negara yang tadinya melindungi ternyata berinisiatif untuk mencabut dan menyerahkan Assange untuk ditangkap oleh aparat negara peminta atau negara teritorial yang masuk ke dalam kedutaan. Ekuador seharusnya mengedepankan keselamatan Assange dan mencari jalan penyelesaian yang layak dengan menggunakan cara negosiasi ataupun jasa pihak ketiga yang netral.
Penulis: Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H.
Abstrak:
Hukum adalah instrumen atau perangkat yang bersifat progresif. Hal ini berarti hukum sebagai aturan bersifat fleksibel dan dinamis untuk mengikuti perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi dapat diterapkan pada proses penegakan hukum, salah satunya dalam penyelesaian perkara atau sengketa perdata. Perselisihan hubungan industrial sebagai bentuk sengketa perdata yang melibatkan pekerja dan pengusaha juga tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yakni mekanisme bipartit dan tripartit. Dalam mekanisme tripartit, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau pengadilan hubungan industrial. Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum memanfaatkan teknologi informasi dalam penyelesaian perselisihan terutama dalam mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat. Padahal selain untuk mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat, pemanfaatan teknologi informasi ini tidak lain adalah untuk memecahkan sejumlah kendala selama ini dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti biaya yang mahal serta keterbatasan jarak dan waktu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pemanfaatan teknologi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial agar tercipta suatu mekanisme penyelesaian yang adil, cepat, murah, dan efektif serta menjamin kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.
Penulis: Meirina Fajarwati, S.H., M.H.
Abstrak:
Pada Tahun 2020 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PERMA No. 1 Tahun 2020) yang didalamnya memuat aturan terkait pemidanaan. PERMA dengan materi muatan terkait pemidanaan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Berdasarkan permasalahan tersebut penulis akan mengkaji mengenai bagaimana pengaturan ketentuan pidana ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan dan bagaimana legalitas pengaturan pemidanaan dalam PERMA No. 1 Tahun 2020 ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diketahui bahwa ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan pemidanaan telah merampas hak asasi warga negara yang pengaturannya harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan uraian tersebut, maka PERMA No. 1 Tahun 2020 mengandung materi muatan pemidanaan yang berdampak terhadap pengurangan kebebasan warga negara, sehingga perlu ditinjau keberlakuannya agar tidak bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, teori hierarki norma menurut Hans Kelsen, dan asas legalitas.
Penulis: Sutriyanti, S.H., M.H.
Abstrak:
Direksi perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Salah satu tanggung jawab direksi yang bertindak mewakili dan melakukan pengurusan perseroan sehari-hari juga ikut mengurus pajak perseroan. Apabila perseroan mempunyai utang pajak dan mengalami pailit maka pelunasannya menggunakan kekayaan perseroan tetapi karena diwakilkan oleh direksi maka direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi terhadap pembayaran pajak badan yang terutang. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana tanggung jawab mantan direksi terhadap pajak terhutang perseroan pailit dan bagaimana pengaturan tanggung jawab direksi terhadap utang pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU tentang KUP). Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab mantan direksi terhadap pajak terhutang perseroan pailit dan dan pengaturan tanggung jawab direksi terhadap utang pajak berdasarkan UU tentang KUP. Tulisan ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Direksi dapat diminta perbertanggungjawaban atas kerugian atau hutang perseroan pailit sampai dengan harta pribadinya namun tanggung jawab tersebut juga terbatas. Dalam UU tentang KUP yang menjadi penanggungjawab hutang perseroan pailit adalah kurator. Terkait hutang pajak dari perseroan yang telah pailit direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya tetapi dengan mengedepankan prinsip business judgment rule.
Penulis: Nita Ariyulinda, S.H., M.H.
Abstrak:
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memengaruhi posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika untuk ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan sekunder. UU tentang Narkotika mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika berdasarkan pada kesepakatan internasional dan kepentingan nasional. Kepentingan nasional artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan karakteristik masyarakat Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tidak serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam UU tentang Narkotika karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika dilihat dari aspek kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman.
Kata kunci: Narkotika, Ganja, Konvensi, UU tentang Narkotika
Penulis: Reny Amir
Abstrak:
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada tahap penyusunan, pembahasan, dan tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat berbasis elektronik.
Kata kunci: aspirasi masyarakat, legislasi, Sekretariat Jenderal DPR RI
Penulis: Muhammad Hasbi
Abstrak:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan dunia informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan. Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme siber. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme siber. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan diketahui bahwa ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya sudah terdapat sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang lebih baik adalah bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk saat ini dengan sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran dari tulisan ini yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk juga kalau dimungkinkan maka perlu dibentuk undang-undang khusus
Kata kunci: terorisme siber, teknologi informasi, transaksi elektronik
Penulis: Imron Razali
Abstrak:
Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi ini menjadi persoalan yang mengemuka hingga saat ini karena seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai. Partai politik saat ini mendapatkan penilaian yang buruk hal ini berimbas juga ke penilaian lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi partai poltik. Karena fraksi wajib ada di Dewan Perwakilan Rakyat maka perlu ada analisis bagaimana sebetulnya peran fraksi selama ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan analisis misalnya dalam hal legislasi fraksi memiliki peran memberikan usulan dalam penyusunan prolegna dan, menyampaikan pendpat mini pada akhir pembicaraan tingkat I pembahasan rancangan undanh-undang, Membahas fraksi memang tidak dapat dipisahkan dengan partai politik namun harus ada batasan yang tegas untuk kedepannya. Dapat dilakukan sebagai solusi yakni fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya disi oleh 1 partai saja namun dapat juga diisi oleh beberapa partai. Hal ini akan berdampak kepada lebih mudahnya pengambilan keputusan karena jumlah fraksi yang cenderung sedikit.
Kata kunci: fraksi, peraturan perundang-undangan, Dewan Perwakilan Rakyat
Penulis: R.Muhamad Ibnu Mazjah
Abstrak:
Tugas dan fungsi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku dan kinerja jaksa dan/atau pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) hakekatnya merupakan mandat peraturan perundang-undangan yang tak terpisahkan dengan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu yang bertumpu kepada cita hukum ideal berdasarkan asas negara hukum dan asas negara demokrasi. Meski demikian, di dalam praktik perangkat norma tentang pengawasan terhadap perilaku dan kinerja jaksa di dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 memuat aturan yang menimbulkan tafsir yang tidak koheren dengan cita hukum ideal dimaksud. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan tugas KKRI. Untuk itu, penelitian ini mengajukan sebuah konsep tentang dimensi perilaku dan kinerja sebagai suatu diskursus di dalam pengembanan tugas KKRI. Perilaku digambarkan sebagai reaksi atau respons yang timbul akibat interaksi seseorang dengan lingkungannya baik dalam konteks pelaksanaan tugas maupun di luar tugas. Perilaku memiliki tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang membentuk pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dengan intensitas dan tingkatannya yang berbeda-beda. Adapun kinerja merupakan wujud nyata daripada perilaku dalam lingkup pelaksanaan tugas yang dibebankan atas dasar kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan tanggung jawab sesuai mekanisme hukum dan kode etik. Diskursus tentang dimensi perilaku dan kinerja ini disajikan dengan harapan memberi penguatan terhadap pengembanan tugas KKRI sebagai pelaksana fungsi penyeimbang atas pelaksanaan kewenangan negara oleh kejaksaan, sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan hak asasi manusia. Penulisan ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif guna memberikan gagasan yang bersifat preskriptif atau sesuatu yang bersifat seyogianya melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Kata kunci : pengawasan, Komisi Kejaksaan, sistem peradilan pidana terpadu, perilaku, kinerja
Penulis: Muamar Syafrudin
Abstrak:
Kekuasaan negara haruslah diawasi untuk itu lahir lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penting dalam pemerintahan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebelum reformasi ditandai dengan praktik maladministrasi termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi pemerintah. Dalam rangka reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan di Indonesia, didirikan lembaga baru yang tidak pernah ada pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru yang berkuasa sebelumnya. Salah satu lembaga baru adalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sehingga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia saat ini, terdapat 4 (empat) pilar kekuasaan yang berkedudukan setara, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudisial dan Lembaga Negara Khusus yang terdiri dari BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK. Dengan metode penelitian normatif dan pendekatan konseptual dengan menjadikan Ombudsman sebagai obyek penelitian didapat temuan bahwa BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK yang termasuk dalam lembaga negara khusus diposisikan sejajar dengan Legislatif, Eksekutif dan Yudisial. Walaupun pengaturannya hanya didasarkan pada undang-undang. Lembaga pemerintahan yang ada saat ini peran dan fungsinya masih terbatas karena keterbatasan pengaturan yang ada saat ini dalam undang-undang untuk itu perlu ada penguatan dalam tataran undang-undang agar lembaga-lembaga ini dapat lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata kunci: struktur ketatanegaraan, konstitusi, demokrasi, lembaga pemerintahan
Penulis: Dahiri
Abstrak:
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah cukup komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut aturan turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar 96.512 hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU tentang PLP2B. Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B untuk mengatasi alih fungsi lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif bagi pemerintah daerah tidak ada, insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan dan besaran pembaiayan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran UU tentang PLP2B, maka upaya yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah dengan dana alokasi khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B dengan pemberian bantuan alat mesin pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas harga dengan menyerap hasil hasil produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan konstruksi.
Kata kunci: alih fungsi lahan, pertanian, insentif, ekstensifikasi.
Penulis: Muhammad Reza Baihaki
Abstrak:
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan PertPenegakan sanksi etik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada dalam lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) memunculkan problematika berupa persinggungan kompetensi antara rezim kepegawaian dan penyelenggaraan etika oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Di satu sisi, hal demikian diakibat adanya perluasan makna penyelenggara pemilu yang juga mencakup ASN dalam lembaga penyelenggara pemilu, sebagaimana ditentukan dalam beberapa putusan DKPP. Namun demikian, di lain sisi, kewenangan DKPP sebagai penyelengggara penegakan etika pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secaa limitatif hanya untuk mengadili anggota KPU dan Bawaslu. Artikel ini mencoba untuk mendudukan pengertian penyelenggara pemilu dan kewenangan DKPP untuk mengadili dan memutus penyelenggara etik bagi ASN yang berada dalam penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, artikel ini disusun dengan menggunakan penelitian normatif-yuridis, yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai pendekatan dalam penelitian ini (statuta approach). Hasil dari penelitian menunjukan dua temuan utama yaitu: Pertama, ASN yang berada dalam lembaga penyelenggara pemilu bukan merupakan penyelenggara pemilu. Kedua, berdasarkan konsepsi penegakan etika, ASN tunduk pada rezim kepegawaian, sehingga tidak selazimnya tunduk pada penegakan kode etik yang dibentuk oleh DKPP. Dengan demikian, Peraturan DKPP yang menempatkan ASN sebagai objek dari penegakan etika harus direvisi berdasarkan konstruksi rezim hukum kepegawaian yang berlaku.
Kata Kunci: aparatur sipil negara, penegakan etika, sanksi administratifanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah cukup komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut aturan turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar 96.512 hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU tentang PLP2B. Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B untuk mengatasi alih fungsi lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif bagi pemerintah daerah tidak ada, insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan dan besaran pembaiayan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran UU tentang PLP2B, maka upaya yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah dengan dana alokasi khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B dengan pemberian bantuan alat mesin pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas harga dengan menyerap hasil hasil produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan konstruksi.
Kata kunci: alih fungsi lahan, pertanian, insentif, ekstensifikasi.
Penulis: Ryzzadharma Simatupang
Abstrak:
Pesawat terbang merupakan alat transportasi yang umum digunakan pada saat ini karena dianggap cepat dan aman. Adapun dasar hukum dari tingkatan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain memberikan kemudahan, ternyata transportasi udara masih memiliki kekurangan yakni terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Permasalahan yang timbul dari kecelakaan pesawat terbang yakni terkait tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tujuan penulisan ini yakni untuk mengetahui tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif yakni dengan pendekatan kepustakaan untuk mendalami isu mengenai hukum penerbangan ini. Hasil yang didapatkan yakni pengangkut memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada korban/ahli waris korban. Kesimpulannya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memiliki dasar hukum yang mengatur tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan pesawat terbang.
Kata kunci: tanggung jawab hukum pengangkut, kecelakaan pesawat terbang, undang-undang tentang penerbangan
Penulis: Bagus Prasetyo, S.H., M.H.
Abstrak:
Kebutuhan lapangan kerja baru merupakan keniscayaan untuk memastikan hak bekerja, mendapatkan imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagai hak konstitusional setiap warga negara. Pengaturan kluster ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja merupakan salah satu cara pemerintah membantu dunia usaha dan pekerja. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana konsep materi muatan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan dalam UU Tentang Cipta Kerja dan apakah perubahan UU tentang Ketenagakerjaan sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja dan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan tetap sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan atau tidak. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja terdiri atas pengubahan, penghapusan, atau penetapan pengaturan baru terhadap beberapa ketentuan yang diatur dalam UU tentang Ketenagakerjaan. Terdapat 68 angka perubahan dengan rincian keseluruhan mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan 13 pasal baru. Benang merah pengaturan tersebut berupa pendelegasian materi muatan, penyesuaian perizinan, dan perubahan secara konsep/esensi pengaturan. Perubahan yang belum sesuai hakekat hukum ketenagakerjaan, diantaranya terkait pengaturan istirahat panjang dan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu yang diserahkan mekanismenya kepada kesepakatan para pihak. Hal ini menunjukkan berkurangnya peran atau kendali negara terhadap hukum ketenagakerjaan karena hakekat hukum ketenagakerjaan, melindungi pihak yang lemah (pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha. Setiap rezim pemerintahan memiliki sudut pandang atau perspektifnya dalam memperbaiki dunia ketenagakerjaan karena sulitnya mempertemukan kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha secara adil sesuai penafsiran konstitusi dalam mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia tidak terkecuali pekerja/buruh dan pengusaha.
Kata kunci: arah pengaturan, cipta kerja, ketenagakerjaan
Penulis: Aryani Sinduningrum, S.H., M.H.
Abstrak:
Kemajuan teknologi informasi di era digital memberikan berbagai dampak salah satunya di sektor ekonomi yang ditandai dengan munculnya finansial teknologi. Keberadaan finansial teknologi ini memiliki keunggulan dan juga permasalahan. Permasalahan pada industri teknologi finansial adalah terkait implikasi hukum belum terbentuknya undang-undang yang mengatur tentang teknologi finansial dan bagaimana usulan rumusan materi muatan penyempurnaan terhadap pengaturan terkait teknologi finansial di tataran peraturan setingkat undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu implikasi hukum belum terbentuknya undang-undang yang mengatur tentang teknologi finansial adalah tidak ada perlindungan hukum yang kuat kepada nasabah dan oknum teknologi finansial ilegal tidak bisa dituntut secara pidana. Usulan rumusan materi muatan pengaturan terkait teknologi finansial di tataran peraturan setingkat undang-undang yaitu materi muatan pengaturan terkait perlindungan data pribadi yang setidak-tidaknya normanya dapat mengadopsi pada ketentuan General Data Protection Regulation ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan materi muatan pengaturan terkait sanksi pidana dan/atau denda bagi teknologi finansial ilegal yang normanya diatur ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Reformasi, Pengembangan, dan Penguatan Sektor Keuangan.
Kata kunci: teknologi finansial, jasa keuangan, teknologi informasi
Penulis: Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo
Abstrak:
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah dalam mendukung pengembangan Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dukungan ini menjadi sangat penting untuk mendorong perekonomian domestik dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menganalisis hubungan UU tentang Ciptaker dengan pengembangan UMKM, dan implikasi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tulisan ini disusun dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode melalui studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa UU tentang Ciptaker menjawab tujuh persoalan utama yang dihadapi pelaku usaha untuk pengembangan UMKM, meningkatkan nilai tambah ekonomi dan berdaya saing tinggi, serta meningkatkan wirausaha baru. Selain itu juga berimplikasi terhadap APBN yaitu adanya pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi UMKM. Meskipun menjadi beban APBN pada tahap awal DAK, potensi manfaat yang akan diperoleh bagi negara cukup besar meliputi tenaga kerja maupun produk domestik bruto dan ekspor.
Kata kunci: uu tentang cipta kerja, usaha mikro kecil dan menengah, anggaran pendapatan dan belanja negara, dana alokasi khusus
Penulis: Yosa Jeremia Donovan
Abstrak:
Corona Virus Deseases 2019 (Covid-19) telah mewabah di Indonesia yang menimbulkan terjadinya pandemi. Dalam menanggulangi wabah penyakit Covid-19 tersebut dilakukan pemberian vaksin terhadap masyarakat Indonesia secara masal. Vaksin ini dikembangkan untuk memberikan kekebalan di tubuh manusia, dengan tujuan mencegah semakin besarnya angka penularan Covid-19. Pemberian vaksin Covid-19 secara besar akan menghasilkan kepentingan ekonomi yang sangat besar juga. Adanya kepentingan ekonomi tersebut berpotensi menimbulkan perbuatan melawan hukum. Potensi masalah tersebut harus menjadi perhatian supaya kepentingan ekonomi tersebut tidak menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Vaksin yang diberikan harus memenuhi syarat dan terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan tindakan medis pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat, hal tersebut masuk dalam ranah hukum perlindungan konsumen. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penulisan doktrinal (normatif). Pengaturan hukum perlindungan konsumen di Indonesia membutuhkan beberapa perubahan untuk mengakomodir perlindungan konsumen vaksin Covid-19. Dalam undang-undang perlindungan konsumen Indonesia perlu mengakomodasi beberapa aturan tambahan meliputi upaya hukum gugatan kelompok terhadap badan publik dan/atau negara, kewajiban produsen luar negeri memiliki perseroan perwakilan di Indonesia, dan upaya untuk meminta pertanggungjawaban hukum dari produsen yang berada di luar negeri.
Kata kunci: hukum perlindungan konsumen, vaksin Covid-19, upaya hukum perlindungan konsumen
Penulis: Antoni Putra
Abstrak:
Omnibus Law adalah metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkembang di negara dengan sistem common law. Di Indonesia, omnibus law telah diterapkan dalam menyusun empat peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam perkembangannya pendekatan omnibus law tersebut tidak hanya diterapkan dalam pembentukan undang-undang, tapi juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar adanya pendelegasian dari undang-undang. Hal itu menyebabkan kerumitan dalam melaksanakan undang-undang, sebab peraturan delegasi seharusnya tidak dapat digabungkan dengan peraturan delegasi lainnya karena dibentuk untuk menjalankan dan memperjelas pengaturan yang terdapat di peraturan yang memberikan delegasi. Oleh sebab itu, omnibus law seharusnya hanya diterapkan dalam membentuk undang-undang, bukan dalam pembentukan peraturan delegasi karena hal itu hanya akan menyebabkan kerumitan dalam memahami peraturan yang seharusnya dapat dipahami dengan mudah. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai problematika penerapan pendekatan omnibus law dalam penyusunan peraturan delegasi. Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif melalui kajian terhadap hukum normatif.
Kata Kunci: Omnibus Law, Undang-Undang, Peraturan Delegasi
Penulis: Afdhal Mahatta
Abstrak:
Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundangkan sejak tahun 2006 memberikan pemahaman akan mendesaknya kebutuhan pelindungan terhadap saksi dan korban pada proses peradilan pidana. Kebutuhan ini dilandasi oleh kenyataan akan banyaknya kasus yang tidak dapat diungkap dan selesai disebabkan korban tidak bersedia memberikan kesaksian kepada penegak hukum akibat ancaman dari pihak tertentu. Namun, peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum memberikan cukup ruang bagi para stakeholders untuk menjalankan perannya dalam melakukan pelindungan kepada saksi dan korban kejahatan di Indonesia. Dalam implemetasinya, hal ini mengakibatkan hak-hak saksi dan korban terkesan masih sulit dijalankan dan direalisasikan dengan baik. Setelah dilakukan tinjauan lebih jauh mengenai hal ini, sulitnya implementasi tersebut bukan semata-mata karena ketidaktahuan dan ketidakmauan penegak hukum, akan tetapi karena adanya kekuranglengkapan dalam pengaturan mengenai saksi dan korban dalam peraturan perundang-undangan. Sulitnya implementasi serta kurang lengkapnya peraturan mengenai hal ini menjadi alasan yang cukup mempengaruhi kinerja kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang belum dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk pelindungan saksi dan korban di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dan data sekunder maka tulisan ini memuat bahasan mengenai penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban demi terwujudnya kepastian dan jaminan yang kuat bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
Kata kunci: Penguatan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pelindungan saksi dan korban pidana, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan korban
Penulis: Panca Silvita
Abstrak:
Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan arah birokrasi Pemerintah. Bila akan menjadi pemimpin, tentu harus melewati jenjang kenaikan pangkat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun, masih terdapat kondisi yang memerlukan perlindungan dalam menata jenjang karier sebagai ASN PNS yang ingin menaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi melalui kenaikan pangkat pilihan. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, serta bagaimana hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada norma yang mengatur secara khusus mengenai kenaikan pangkat pilihan dalam UU tentang ASN. Namun, pengaturan kenaikan pangkat dalam Pasal 362 dan Pasal 363 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP No. 11 Tahun 2017) menjadi ambigu karena kedua pasal tersebut membuka ruang interpretasi. Kesimpulan kajian menunjukan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.42 Tahun 2017) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.70 Tahun 2019) yang mengatur kenaikan pangkat pilihan dan telah terdapat harmonisasi pengaturan terkait kenaikan pilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Hal ini memberikan ketenangan dalam bekerja karena telah terdapat kepastian hukum sehingga diharapkan memberikan motivasi agar dapat bekerja secara optimal.
Kata kunci: kenaikan pangkat pilihan, ASN PNS, peraturan perundang-undangan
Penulis: Trisuharto Clinton, S.H.
Abstrak:
Kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadikan berbagai infrastruktur bergantung pada adanya teknologi sibernetika. Oleh karena itu, muncul ancaman-ancaman terhadap sistem tersebut. Salah satu ancaman yang dibahas dalam kaitan studi hukum humaniter internasional adalah perang sibernetika, yang dilakukan oleh subyek hukum internasional. Ancaman tersebut berupa serangan siber (malware), misalnya Sina American Case (2001), Titan Rain Case (2003-2006), dan Stuxnet Worm Case (2010). Serangan siber tersebut dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata atau militer guna memperoleh keunggulan terhadap lawan. Namun terhadap ancaman tersebut belum ada rezim hukum yang mengatur batasan-batasan tindakan serangan siber layaknya hukum humaniter internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yang meliputi konvensi-konvensi, keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan hukum internasional, teori hukum, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan. Serangan sibernetika yang dikoordinasikan dengan kepentingan militer memungkinkan munculnya perang sibernetika. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur perang sibernetika sebagai sebuah konflik bersenjata internasional, namun terdapat analogi korelasi prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional terhadap perang sibernetika.
Kata kunci: sibernetika, perang, konflik bersenjata internasional, hukum humaniter internasional
Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270.
Telp. 021-5715468 / 5715455 - Fax. 021-5715706