Naskah Akademik
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan)
Naskah akademik yang diunggah dalam menu Produk dibuat berdasarkan permintaan dari Anggota, Komisi, Gabungan Komisi dan Alat Kelengkapan Dewan lainnya untuk kepentingan pembentukan undang-undang di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Naskah Akademik tersebut telah selesai disusun dan dipresentasikan kepada Alat Kelengkapan Dewan oleh Pusat PUU sebagai bentuk dukungan keahlian Badan Keahlian DPR RI.
Sekilas:
Kepariwisataan berperan strategis dalam mendukung pembangunan
nasional sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan bernegara
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pariwisata merupakan bagian dari
kebudayaan dan kegiatan berwisata juga bagian dari upaya menjaga
nilai-nilai dan warisan budaya bangsa serta peninggalan sejarah sebagai
peradaban bangsa yang harus dilindungi dan dihormati.
Kepariwisataan telah menjadi salah satu sektor yang berpengaruh
pada kondisi sosio-ekonomi dari pelaku Pariwisata, sehingga dalam
menghitung dampak Pariwisata tidak lagi hanya mengukur keuntungan
ekonomi melainkan juga meningkatkan kehidupan sosial budaya serta
hubungan antarmanusia dalam upaya meningkatkan kehidupan bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia. Adanya perkembangan
Pariwisata dari Wisata massal kemudian muncul Wisata minat khusus
menggambarkan adanya pergeseran peranan Pariwisata sebagai industri
berbasis pengalaman dan mengutamakan hasil berwisata yaitu
peningkatan kualitas hidup.
Dari aspek Daya Tarik Wisata, saat ini berkembang sangat pesat
keberadaan desa Wisata dan kampung tematik. Desa Wisata dan
kampung tematik menjadi ikon Wisata Indonesia sebagai respon atas
perkembangan konsep Wisata berbasis kebudayaan di suatu daerah dan
sangat terkait erat dengan pelaksanaan Pariwisata berkelanjutan.
Pariwisata berkelanjutan merupakan upaya penyelenggaraan
Pariwisata yang ditujukan untuk pemerataan pembangunan antar
generasi pada masa kini maupun masa mendatang dengan
memperhitungkan dampak ekonomi, dampak sosial, dan dampak
lingkungan saat ini dan masa depan guna memenuhi kebutuhan
wisatawan, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat.
Perkembangan Pariwisata berkelanjutan menuntut seluruh pelaku
Wisata untuk memiliki pemahaman mendalam terhadap objek atau Daya
Tarik Wisata, turut bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan,
penciptaan pengalaman berharga selama berwisata, memperpanjang
waktu singgah, adaptif terhadap kemajuan teknologi, informasi, dan
komunikasi, serta pada akhirnya mampu berkolaborasi secara
berkelanjutan antarpemangku kepentingan.
Namun demikian, banyak tantangan yang dihadapi dimana karakter
Kepariwisataan yang multisektor, multidisiplin, dan multipemangku
kepentingan. Untuk mengembangkan Kepariwisataan diperlukan
kesiapsiagaan dan sinergi terpadu antarpemangku kepentingan yang
menjadi elemen penting dalam mengembangkan sektor Pariwisata. Akan
tetapi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
yang menjadi dasar hukum Kepariwisataan belum dapat memenuhi
kebutuhan dan perkembangan yang ada tersebut sehingga perlu diganti
dengan tujuan untuk mengakomodasi perkembangan dan lebih
memajukan Kepariwisataan nasional.
Secara umum, Undang-Undang ini mengatur materi muatan pokok
mengenai penyelenggaraan Kepariwisataan; hak dan kewajiban; tugas,
wewenang, dan tanggung jawab pemerintah; Destinasi Pariwisata;
Industri Pariwisata; pemasaran Pariwisata; kelembagaan Pariwisata; desa
Wisata dan kampung tematik; kawasan strategis Pariwisata; asosiasi
Kepariwisataan; Sumber Daya Manusia Pariwisata; teknologi dan
informasi Pariwisata; peran serta masyarakat; dan pendanaan Pariwisata
yang diuraikan dalam batang tubuh Undang-Undang tentang
Kepariwisataan beserta penjelasannya.
Penulis:
Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ NUR GHENASYARIFA ALBANY TANJUNG, S.H., M.H. ❖ Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Eko Adityo Ananto, S.E. ❖ Nadya Ahda, S.E. ❖ Dinar Wahyuni, S.Sos., M.Si. ❖ Niken Paramita Purwanto, S.E., M.Ak. ❖ Trisuharto Clinton, S.H.
Sekilas:
Penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Kesejahteraan ibu dan
anak berawal dari pancasila sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan
beradab” dan sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kemudian penjabaran dalam UUD NRI tahun 1945 pasal 28B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Selain itu pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu
faktor fundamental dalam mengukur keberhasilan pemerintah dalam
bidang pembangunan kesehatan. Ibu yang sehat dan sejahtera
diharapkan akan membentuk anak yang tumbuh dengan baik, sehat,
cerdas, kreatif, dan produktif. Begitu pun sebaliknya, ibu yang kesehatan
dan kesejahteraannya buruk akan berdampak kurang baik pada kondisi
tumbuh kembang anak. Anak yang sehat dan bertumbuh kembang
dengan baik berpotensi di masa depan akan menjadi sumber daya
manusia yang unggul sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan
dapat berkontribusi maksimal bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Sehingga negara perlu menjamin kesejahteraan ibu dan anak yang
dimulai sejak ibu dalam masa persiapan kehamilan, masa kehamilan, saat
melahirkan dan pasca melahirkan sampai dengan anak mencapai usia
tertentu yang dianggap belum dewasa. Tingginya Angka Kematian Ibu
dan Angka Kematian Bayi membutuhkan peran aktif negara dalam
menurunkan AKI dan AKB tersebut. Meskipun telah banyak program
pemerintah terkait kesejahteraan ibu dan anak yang belum merata di
berbagai daerah misalnya vaksin secara rutin bagi balita, pendistribusian
makanan tambahan untuk ibu hamil, menyusui, dan anak-anak, serta
pemeriksaan ibu hamil. Selain itu kurangnya koordinasi lintas sektoral
terkait pemetaan, perencanaan dan penganggaran, serta
penyelenggaraan program kesejahteraan ibu dan anak antar
kementerian/lembaga dan organisasi perangkat daerah yang terkait
sehingga perlu dilakukan koordinasi secara terus menerus agar
pelaksanaan program kesejahteraan ibu dan anak dapat berjalan dengan
baik dan sistematis. Progam yang dilakukan oleh Pemerintah maupun
masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak masih
banyak dilakukan secara parsial, sporadis, dan belum dilaksanakan secara
terpadu berkesinambungan serta belum diatur secara komprehensif
dalam suatu undang-undang. Sedangkan pengaturan yang ada selama ini
yang khusus mengatur mengenai kesejahteraan anak yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinilai sudah
tidak sesuai lagi dan belum mengakomodasi perkembangan hukum dan
masyarakat. Sehingga dibutuhkan pengaturan yang komprehensif untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Penulis:
Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Sali Susiana, S.Sos, M.Si. ❖ Nur Budi Haryanto, M.Si. ❖ Achmad Nur Afif, S.H., M.H. ❖ Ahmad Ari Masyhuri, M.Ag.
Sekilas:
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (UU tentang Perbankan) telah terjadi
perubahan yang mendasar pada industri perbankan yang ditandai
dengan perkembangan berbagai jenis usaha perbankan seiring dengan
perkembangan teknologi informasi. Tantangan yang dihadapi oleh
perbankan tidak hanya dari kondisi internal perbankan nasional namun
juga kondisi perekonomian global. Selain itu, kondisi pandemi
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) saat ini mengingatkan kita bahwa
di masa mendatang sangat mungkin lebih banyak krisis yang akan kita
hadapi. Oleh karena itu, sektor perbankan harus dikembangkan
menjadi lebih resilience dan tangguh menghadapi berbagai ancaman
krisis yang akan terjadi. Perkembangan dinamika legislasi nasional juga
memberikan dampak perubahan bagi dunia perbankan, khususnya
dalam undang-undang (UU) yang sangat terkait dengan praktik
perbankan. Fakta ini menuntut adanya penyesuaian dalam UU tentang
Perbankan agar harmonis dan selaras dengan dinamika perundang-
undangan yang ada. Selain itu, dinamika perkembangan hukum terkait
UU tentang Perbankan juga terimplikasi dari adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) terhadap Perkara No. 64/PUU-X/2012 dan Putusan MK
Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014.
Penulis:
Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H. ❖ Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Muhammad Yusuf, S.H., M.H. ❖ MOHAMMAD GADMON KAISAR, S.H., M.H.
Sekilas:
Dalam rangka penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, telah dibentuk
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(selanjutnya disingkat UU LLAJ). Namun dalam pelaksanaanya, UU LLAJ ternyata
masih belum dapat mengakomodir perkembangan yang terjadi di masyarakat,
terkait: pertama; pengaturan mengenai keberadaan angkutan transportasi
umum berbasis aplikasi. Kedua; belum diaturnya kendaraan roda 2 (dua) dan
roda 3 (tiga) sebagai salah satu moda transportasi umum. Ketiga, pengaturan
mengenai dana preservasi jalan yang belum efektif dan implementatis. Terakhir
keempat, kewenangan dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat
Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)
oleh Kepolisian dan pengelolaan PNBP nya perlu dikaji kembali apakah masih
tetap dipertahankan dan dialihkan ke Kementerian Perhubungan agar Kepolisian
fokus pada bidang penegakan hukum di bidang LLAJ.
Untuk merespon perkembangan dalam penyelenggaraan lalu lintas dan
angkutan jalan tersebut, UU LLAJ telah masuk dalam agenda perubahan dengan
masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Priotas Tahun 2000
pada nomor urut 9. Untuk itu, Komisi V DPR RI telah meminta kepada Badan
Keahlian DPR RI (BK DPR RI) untuk menyiapkan Draft NA dan RUU Perubahan
Atas UU LLAJ, yang substansinya diharapkan dapat mengakomodir
perkembangan dan kebutuhan yang ada dimasyarakat.
Penulis:
Zaqiu Rahman, S.H., M.H. ❖ Akhmad Aulawi, S.H., M.H. ❖ Sutriyanti, S.H., M.H. ❖ Noor Ridha Widiyani, S.H. ❖ Aryani Sinduningrum, S.H., M.H.
Sekilas:
Penyusunan NA RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD adalah
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan pada
suatu daerah bertujuan untuk membangun masyarakat yang ada di dalamnya,
oleh sebab itu diharapkan pembangunan tersebut tidak hanya mengejar
kemajuan daerah saja, akan tetapi mencakup keseluruhan aspek kehidupan
masyarakat yang dapat berjalan seimbang di segala bidang dalam rangka
menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata. Pembangunan Nasional
dan Pembangunan Daerah sesungguhnya menjadi tanggungjawab warga negara
dan masyarakatnya. Kaitannya dengan pembangunan daerah dalam rangka
otonomi daerah, pendapatan daerah menjadi sangat penting karena dapat
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan pembangunan
daerah yang serasi dan terpadu disertai perencanaan pembangunan yang baik,
efisien, dan efektif maka akan tercipta kemandirian daerah dan kemajuan yang
merata diseluruh wilayah Indonesia.
Penulis:
Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Meirina Fajarwati, S.H., M.H. ❖ Noor Ridha Widiyani, S.H. ❖ Olsen Peranto, S.H. ❖ Aryani Sinduningrum, S.H., M.H.
Sekilas:
Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi memegang peran yang
sangat
penting dalam pembangunan dan pengembangan di berbagai bidang
kehidupan
berbangsa dan bernegara. Jalan yang memadai semakin diperlukan
untuk
menjembatani kesenjangan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan
antarwilayah, antarperkotaan, maupun antarperdesaan guna
meningkatkan
pelayanan jasa transportasi secara efesien, handal, berkualitas, aman,
dengan
harga yang terjangkau serta mewujudkan sistem transportasi nasional
yang
terpadu antarmultimoda dan dengan pembangunan wilayah dalam satu
kesatuan sistem jaringan yang menghubungkan dan mengikat seluruh
wilayah
Republik Indonesia.
Jaringan jalan sebagai pendukung utama sistem logistik nasional,
masih
dihadapkan pada beberapa tantangan antara lain: kelembagaan,
Sumber
Daya
Manusia (SDM), ketersediaan dan kualitas sarana prasarana,
konektivitas,
serta
pembiayaan. Belum optimalnya pembinaan penyelenggaraan jalan dari
pemerintah pusat kepada daerah yang mengakibatkan terbatasnya
kapasitas
SDM di daerah, ketimpangan kondisi jalan nasional dan jalan daerah,
dan
keterbatasan kemampuan pendanaan oleh pemerintah daerah menjadi
hambatan dalam pengelolaan jaringan jalan di daerah.
Selain masalah penguatan konektivitas transportasi jalan dan
infrastruktur
jalan
perkotaan, yang menjadi perhatian adalah kinerja keselamatan
transportasi
jalan. Keselamatan dan keamanan merupakan salah satu prinsip dasar
penyelenggaraan transportasi.
Dari sisi yuridis, lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan
terkait
dengan pengelolaan jalan dalam dinamika legislasi 15 tahun terakhir
mengharuskan adanya penyesuaian dan sinkronisasi dalam ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Penulis:
Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Olsen Peranto, S.H. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Dahlia Andriani, S.H., .M.H.
Sekilas:
Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah lanjut usia di Indonesia akan
mencapai 36 juta jiwa. PBB memprediksi pada tahun 2050 Indonesia akan
masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah lanjut usia terbesar. UU No
13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengatur lanjut usia
berdasarkan pada charity based. Hal ini tidak sesuai lagi dengan kondisi
dan perkembangan zaman. Dalam UU No 13 Tahun 1998, lanjut usia
hanya sebagai objek pembangunan, perlu adanya perubahan paradigma
sehingga dari objek menjadi subjek yang berperan serta mengambil
keputusan apa yang menjadi kebutuhan lanjut usia. Dengan berubahnya
dinamika dan transisi dari pelayanan menjadi penanganan maka, K/L dan
masyarakat harus terlibat dalam penanganan kesejahteraan lanjut usia.
Penanganan pada lanjut usia tidak dititikberatkan pada bidang ekonomi
saja tetapi melalui peningkatan pemberdayaan, yakni upaya
meningkatkan kemampuan fisik, mental, spiritual, sosial, ekonomi,
pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan agar lanjut usia dapat
mengoptimalkan potensi dan kemampuannya. Perlu adanya pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, terkait
penanganan lanjut usia. Di dalam pengaturan yang baru maka,
penanganan lanjut usia tidak hanya dititikberatkan kepada usia lanjut
tetapi mempersiapkan seseorang dari awal untuk menjadi lanjut usia
yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat.
Penulis:
Bagus Prasetyo, S.H., M.H. ❖ Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ NUR GHENASYARIFA ALBANY TANJUNG, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H. ❖ Dr. Lukman Nul Hakim, S.Psi., MA. ❖ Suratman, S.H., M.H.
Sekilas:
Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Keberadaan dan peranan olahraga dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dinilai sangat
penting dan strategis.
Oleh karenanya penanganan keolahragaan di tanah
air harus dilaksanakan secara profesional dalam suatu sistem
keolahragaan nasional yang merupakan keseluruhan subsistem
keolahragaan yang saling terkait secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan. Indonesia saat ini telah memiliki perangkat aturan dalam
bentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional.
Namun demikian, perkembangan keolahragaan nasional saat ini tampak
semakin kompleks akibat adanya dinamika sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat dan bangsa serta tuntutan perubahan global. Keadaan
tersebut ditambah dengan permasalahan yang terjadi belakangan ini yang
telah menempatkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan keolahragaan di tanah air. Permasalahan tersebut
melingkupi beberapa subsistem dari sistem keolahragaan nasional antara
lain, pelaku olahraga, organisasi olahraga, dana olahraga, prasarana dan
sarana olahraga, peran serta masyarakat, dan penunjang keolahragaan
termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan industri olahraga.
Untuk membenahi kondisi sekaligus menyelesaikan permasalahan
keolahragaan nasional tersebut perlu dilakukan perbaikan dari aspek
regulasi atau undang-undang dengan penekananan pada penyempurnaan
beberapa substansi materi muatan yang bertujuan mengupayakan
peningkatan koordinasi antarlembaga yang menangani keolahragaan,
pemberdayaan organisasi keolahragaan, pengembangan sumber daya
manusia keolahragaan, pengembangan prasarana dan sarana,
peningkatan sumber dan pengelolaan pendanaan, serta penataan sistem
pembinaan dan pengembangan olahraga secara menyeluruh.
Sehingga perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional agar lebih dapat
dilaksanakan, lebih meningkatkan prestasi olahraga baik di tingkat
daerah, nasional, maupun internasional, dan mampu memberi manfaat
bagi upaya menyehatkan dan menyejahterakan seluruh masyarakat
Indonesia.
Penulis:
Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H. ❖ Dinar Wahyuni, S.Sos., M.Si. ❖ Masad Masrur
Sekilas:
Pengaturan dan mekanisme mengenai penyelesaian perselisihan
hubungan industrial secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004), perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Hubungan industrial pada dasarnya adalah hubungan antara pengusaha
atau perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja. Ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2004 merinci ada 4 jenis perselisihan hubungan
industrial, yaitu: a) perselisihan hak; b) perselisihan kepentingan; c)
perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d) Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Jika terjadi
perselisihan tentunya perlu dilakukan upaya penyelesaian perselisihan
hubungan industrial untuk mengembalikan keharmonisan dalam bekerja.
Terjadinya perselisihan antara buruh/pekerja dan pihak perusahaan
perselisihan dapat terjadi tanpa suatu pelanggaran. Perselisihan
perburuhan juga dapat terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
oleh pihak buruh atau oleh pihak pengusaha.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
diharapkan dapat mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan, dalam hal perundingan bipartit gagal,
maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Lebih lanjut dalam Pasal 4
ayat (3) disebutkan, setelah menerima pencatatan dari salah satu atau
para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan penyelesaian melalui
arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai upaya hukum selanjutnya.
Hal ini dikuatkan dengan adanya Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa PHI bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus : a. di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penulis:
Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Asma' Hanifah, S.H. ❖ NUR GHENASYARIFA ALBANY TANJUNG, S.H., M.H. ❖ Joko Riskiyono, S.H., M.H. ❖ Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Sekilas:
Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan sumber daya
yang strategis dan harus dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pemanfaatan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 harus menjamin ketersediaan
energi
untuk generasi yang akan datang. Pemanfaatan sumber daya energi
harus dikelola dengan baik dan secara berkelanjutan. Sumber
energi baru
dan terbarukan yang merupakan sumber energi juga harus
dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Saat ini,
permintaan
energi di Indonesia masih didominasi oleh energi yang tidak
terbarukan
(energi fossil) padahal sumber daya energi baru dan
terbarukan yang
tersedia cukup melimpah di Indonesia namun belum dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal sehingga perlu didorong
pengembangan dan
pemanfaatannya.
Untuk mencapai upaya ini, Pemerintah telah menetapkan visi
pengoptimalan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).
Melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014
tentang
Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah telah menetapkan
peran
EBT paling sedikit mencapai 23% dalam bauran energi nasional
pada
tahun 2025. Arah kebijakan ini ditujukan untuk mencapai
kedaulatan,
ketahanan, dan kemandirian energi nasional secara
berkelanjutan.
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan perlu ditingkatkan
secara
signifikan dalam rangka mengantisipasi terjadinya krisis
energi serta
untuk mendorong terpenuhinya akses seluruh masyarakat terhadap
sumber energi khususnya yang berada di pulau-pulau terluar.
Energi baru dan terbarukan saat ini sudah diatur dalam
berbagai undang-
undang selain diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi
juga diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran,
UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 21 Tahun
2014
tentang Panas Bumi.
Pengaturan energi baru dan terbarukan saat ini sudah diatur
dalam
beberapa peraturan perundang-undangan namun peraturan perundang-
undangan yang saat ini ada dan mengatur tentang energi baru dan
terbarukan masih tersebar dalam beberapa peraturan sehingga
implikasinya, kerangka hukum tersebut sering mengalami
perubahan dan
belum dapat menjadi landasan hukum yang kuat, komprehensif, dan
menjamin kepastian hukum.
Pengaturan secara khusus dan komprehensif dalam Undang-Undang
secara tersendiri dibutuhkan dan sekaligus menjadi acuan
terhadap
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu,
Ratifikasi
Perjanjian Paris oleh Indonesia untuk menjaga kenaikan
temperatur dunia
tidak lebih dari 2oC ikut mendorong Indonesia untuk lebih
banyak
memanfaatkan sumber daya energi baru dan terbarukan.
Materi Pokok: Secara umum RUU EBT ini memuat materi pokok yang
disusun secara sistematis dalam 14 Bab. Materi pokok meliputi:
- asas dan tujuan
- penguasaan
- energi baru
- energi terbarukan
- pengelolaan lingkungan hidup dan keselamatan
- penelitian dan pengembangan
- harga energi baru dan terbarukan
- insentif
- dana EBT
- pembinaan dan pengawasan
- partisipasi masyarakat.
Penulis:
Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Olsen Peranto, S.H. ❖ Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
Sekilas:
Musik merupakan salah satu unsur pembangun
kebudayaan dan peradaban.
Hubungan musik dengan budaya terlihat jelas dari
kebudayaan daerah yang
diperkaya oleh berbagai nada baik dalam bentuk seni
musik murni maupun
sebagai kesatuan dari seni tari. Bangsa dengan peradaban
yang maju tidak
hanya memiliki hasil karya cipta musik yang baik,
melainkan juga apresiasi yang
tinggi terhadap musik itu sendiri. Seni musik terekam nilai-
nilai kehidupan
bangsa dapat digunakan untuk menelusuri jejak sejarah
peradaban bangsa.
RUU ini bertujuan untuk mewujudkan tatanan yang
harmonis dalam
penyelenggaraan permusikan di Indonesia pada setiap
aspek dan
memberikan pelindungan bagi karya musik dan pelaku
musik sehingga musik
di tanah air dapat berkembang dan memberikan manfaat
yang optimal bagi
semua pihak terutama bagi bangsa dan negara sebagai
bagian dari pemajuan
kebudayaan dan peradaban bangsa.
Penulis:
Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H. ❖ Sali Susiana, S.Sos., M.Si. ❖ Sulis Winurini, S.Psi., M.Psi.
Sekilas:
Tujuan pengaturan RUU tentang SPIP meliputi:
a. mewujudkan APIP yang mandiri dan profesional;
b. menguatkan kapasitas Auditor yang berintegritas, mandiri,
profesional, akuntabel, dan terbuka;
c. mewujudkan sinergi antar-APIP;
d. memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas
manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian,
Lembaga, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah;
e. mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dalam
pelaksanaaan pembangunan nasional dan pelaksanaan penggunaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah; dan
f. mewujudkan pemerintahan yang baik, efektif dan efisien, serta
bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penulis:
Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H. ❖ Akhmad Aulawi, S.H., M.H. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Meirina Fajarwati, S.H., M.H. ❖ Olsen Peranto, S.H. ❖ Aryani Sinduningrum, S.H., M.H.
Sekilas:
Upaya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
merupakan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut menuntut tanggung jawab negara untuk
melindungi bangsa Indonesia dalam bentuk perlindungan dalam hal terjadi
bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (UU tentang Penanggulangan Bencana) pada prinsipnya mengatur
mengenai tanggung jawab dan wewenang pemerintah serta pemerintah daerah,
hak dan kewajiban masyarakat, kelembagaan, pendanaan, serta
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi tahap prabencana,
saat tanggap darurat, dan pascabencana. Namun di dalam implementasinya,
terdapat beberapa permasalahan.
Pertama, definisi bencana dalam UU tentang Penanggulangan Bencana,
belum menggambarkan bahwa bencana dapat terjadi secara tiba-tiba atau
bertahap yang mengancam atau menimbulkan gangguan terhadap tata
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mengakibatkan kerugian
terhadap fisik dan psikis manusia, ekonomi, dan lingkungan.
Kedua, beberapa jenis bencana yang disebutkan dalam UU tentang
Penanggulangan Bencana sudah diatur di dalam peraturan perundangundangan
lain,
diantaranya
untuk
bencana
sosial
telah
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
menangani penanganan konflik sosial, dan untuk
epidemi, wabah penyakit, kejadian luar biasa telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan yang menangani bidang kesehatan.
Ketiga, penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah
dalam UU tentang Penanggulangan Bencana menjadi salah satu wewenang
pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penetapan
status dan tingkatan bencana tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum
karena belum ada peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai
indikator penetapan status dan tingkatan bencana.
Keempat, perlu restrukturisasi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai
lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
Kelima, penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih terfokus pada
tahap tanggap darurat dan pascabencana. Penanggulangan bencana pada tahap
prabencana belum menjadi perhatian yang serius, sehingga perlu penguatan
pengaturan terhadap tahap prabencana.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan UU tentang
Penanggulangan Bencana agar dapat mengoptimalkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana dan membangun sinergi antar berbagai pemangku
kepentingan serta sesuai dengan dinamika hukum dan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat. Perubahan undang-undang ini juga diharapkan menjadi
landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Penulis:
Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ Aan Andrianih, S.H., M.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Bagus Prasetyo, S.H., M.H. ❖ Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H. ❖ Mohammad Mulyadi ❖ Dina Martiany ❖ Reza Azhari ❖ Bintang Wicaksono Adjie ❖ Rendy Alfaro ❖ Suratman, S.H., M.H. ❖ Chairul Walid
Sekilas:
Hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan membutuhkan
pengurusan dan pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Sumber daya hutan mempunyai peran penting
terhadap penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan,
menciptakan lapangan dan kesempatan kerja, serta untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Upaya pengolahan hasil hutan, tidak boleh
mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri.
Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan
bukan kayu, tetapi telah diperluas dengan pemanfaatan lainnya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, serta tuntutan
perkembangan keadaan pada saat ini. Selain itu, perubahan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga didasarkan atas beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011, Putusan
Nomor 45/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, dan Putusan
Nomor 95/PUU-XII/2014.
Penulis:
Akhmad Aulawi, S.H., M.H. ❖ Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H. ❖ Noor Ridha Widiyani, S.H. ❖ Olsen Peranto, S.H.
Sekilas:
Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan
sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu
berubah.
Salah satu variabel penting dalam sistem pendidikan nasional
adalah
Guru.Guru bukan sekedar pendidik dan pengajar namun juga
mengemban
misi seorang begawan, selain bijaksana juga menguasai ilmu
pengetahuan
serta sarat akan nilai moral dan agama. Namun sampai saat ini
masih banyak
persoalan pengelolaan guru yang masih menjadi kendala
pembangunan
pendidikan. Pertama, segi kualitas guru yang dianggap masih
belum sesuai
dengan tuntutan. Kedua, semakin maraknya masalah perlindungan
guru
yang disebabkan konflik dengan peserta didik, orang tua, atau pihak
lain.
Ketiga, jumlah dan rasio guru yang belum memadai. Keempat,
masalah
kesejahteraan guru. Kelima, masalah pendidikan guru, baik
pendidikan
akademik maupun pendidikan profesi. Untuk itu dalam RUU tentang
Guru
bertujuan meningkatkan kompetensi, integritas, dan profesionalitas
Guru
sehingga mampu mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi
manusia yang beriman, bertakwa, berilmu, serta berakhlak mulia.
Penulis:
Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Woro Wulaningrum, S.H., M.H. ❖ Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Prof. Dr. Ujianto P. Singgih, S.Sos., M.Si. ❖ Elga Andina S.Psi., M.Psi.
Sekilas:
Jangkauan dan arah pengaturan RUU Perikanan bertujuan
untuk menegakkan kedaulatan kemaritiman Indonesia sekaligus
melaksanakan pemanfaatan sumber daya perikanan yang terkandung
di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Arah pengaturan yang ingin diwujudkan dalam RUU
Perikanan yaitu untuk meningkatkan produktivitas sumber daya
ikan
baik perikanan tangkap maupun budidaya, pelestarian lingkungan
pembudidayaan ikan, pemanfaatan sistem pendukung perikanan dan
penegakan hukum di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia agar
dapat berdaya guna dan bersaing guna.
Untuk mencapai hal tersebut maka penyelenggaraan
perikanan memiliki beberapa tujuan pokok, yaitu:
a. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan Perikanan;
b. menjamin kelestarian Sumber Daya Ikan dan Lingkungan Sumber
Daya Ikan;
c. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein yang
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan;
d. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri
pengolahan Ikan dan industri lainnya;
e. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya
saing;
dan
g. mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta berusaha.
Penulis:
Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Zaqiu Rahman, S.H., M.H. ❖ Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Sutriyanti, S.H., M.H. ❖ Muhammad Yusuf, S.H., M.H. ❖ Meirina Fajarwati, S.H., M.H.
Sekilas:
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional maka penyediaan prasarana jalan
ditujukan
untuk melayani dan meniadakan hambatan bagi pergerakan
barang dan
manusia untuk semua warga negara dan sekaligus menjaga agar
prasarana
jalan tetap ada dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu
penyediaan prasarana jalan diarahkan untuk mencapai
keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh
kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional.
Penulis:
Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Sutriyanti, S.H., M.H. ❖ Olsen Peranto, S.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini disusun sebagai landasan filosofis,
sosiologis, dan
yuridis atas dibentuknya RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor
38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan). Pembentukan Naskah
Akademik ini
didasarkan karena pelaksanaan UU Jalan sudah tidak lagi
memenuhi
kebutuhan dan perkembangan hukum di masyarakat, di antaranya
perlunya
percepatan pembangunan jalan, pemeliharaan dan perbaikan
jaringan jalan,
kinerja jalan, pembiayaan jalan daerah dan pembangunan jalan
di wilayah
perbatasan Negara termasuk kerjasama pembangunan jalan
lintas Negara.
Penulis:
Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Sutriyanti, S.H., M.H. ❖ Olsen Peranto, S.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini bertujuan untuk mengetahui landasan
filosofis,
sosiologis, dan yuridis bagi pengaturan kebidanan di
Indonesia. Keberadaan
kebidanan yang profesional sangat penting untuk meningkatkan
derajat
kesehatan masyarakat khususnya ibu dan anak sebagai aset
utama bangsa.
Oleh karena itu penempatan wilayah kerja dan pengupahan
bidan sebagai
ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak harus dijamin dan
diperhatikan secara menyeluruh oleh Negara. Landasan
pengaturan dalam
Undang-Undang sangat dibutuhkan agar setiap bidan mempunyai
kemampuan pelayanan kebidanan yang profesional dengan
kompetensi klinis
(midwifery care), sosial-budaya untuk menganalisa,
mengadvokasi dan
memberdayakan masyarakat guna peningkatan kesehatan ibu dan
anak.
Penulis:
Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Bagus Prasetyo, S.H., M.H. ❖ Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ Woro Wulaningrum, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini disusun sebagai landasan filosofis,
sosiologis, dan
yuridis atas dibentuknya RUU tentang Konservasi
Keanekaragaman Hayati dan
Ekosistem. Urgensi dari pembentukan Naskah Akademik ini
dikarenakan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekositemnya (UU KSDHAE) dirasakan sudah tidak
sesuai lagi
dengan perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum
dimasyarakat,
diantaranya perkembangan tata pemerintahan yaitu otonomi
daerah yang
memerlukan perubahan dan penyesuaian beberapa materi yang
ada dalam UU
KSDAHE, terutama terhadap substansi yang masih mencerminkan
kebijakan
yang bersifat sentralistik dan berpotensi untuk menimbulkan
konflik
kewenangan. Selain itu, terdapat beberapa hal yang belum
diatur dalam UU
KSDAHE, antara lain mengenai kawasan konservasi laut dan
penentuan batas-
batas wilayah konservasi (sistem zonasi)
Penulis:
Zaqiu Rahman, S.H., M.H. ❖ Arif Usman, S.H., M.H. ❖ Laksmi Harundani, S.H., M.Kn. ❖ Sutriyanti, S.H., M.H. ❖ Meirina Fajarwati, S.H., M.H. ❖ Noor Ridha Widiyani, S.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini bertujuan untuk mengetahui landasan
filosofis,
sosiologis, dan yuridis bagi pengaturan serah simpan karya
cetak, karya
rekam, dan karya elektronik di Indonesia. Pembentukan Naskah
Akademis
disusun terutama untuk mengetahui perkembangan kajian teori
dan praktik
empiris terhadap pelaksanaan serah simpan karya cetak, karya
rekam dan
karya elektronik yang terjadi selama ini, serta bagaimana
pengaturannya
dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun
1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
berikut dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Penulis:
Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Bagus Prasetyo, S.H., M.H. ❖ Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ Woro Wulaningrum, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H. ❖ Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini disusun sebagai landasan filosofis,
sosiologis, dan
yuridis atas dibentuknya RUU tentang Sistem Budidaya
Tanaman. Urgensi dari
pembentukan Naskah Akademik ini dikarenakan Undang-Undang
Nomor 12
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT)
dirasakan sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan, permasalahan, dan
kebutuhan
hukum di masyarakat, di antaranya UU SBT dinilai menurunkan dan
merugikan kepentingan (ekonomi) petani, berpotensi
menimbulkan terjadinya
kriminalisasi petani oleh perusahaan-perusahaan perbenihan,
beberapa
kebijakan pemerintah terkait subsidi pupuk dan benih masih
sulit diakses oleh
petani, dan adanya permohonan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi atas
beberapa substansi pelaksanaan Undang-Undang ini yaitu Pasal
9 ayat (3)
dan Pasal 12 ayat (1) yang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penulis:
Akhmad Aulawi, S.H., M.H. ❖ Dr. Wiwin Sri Rahyani, S.H., M.H. ❖ Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M. ❖ Febri Liany, S.H., M.H. ❖ Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
Sekilas:
Naskah Akademik ini bertujuan untuk mengetahui landasan
filosofis,
sosiologis, dan yuridis bagi pengaturan tanggung jawab
sosial perusahaan
(TJSP). TJSP telah menjadi suatu kebutuhan dan berimplikasi
positif bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban
pembiayaan,
pembangunan pemerintah, memperkuat investasi perusahaan, serta
memperkuat jaringan kemitraan. Ketentuan yang mengatur
mengenai TJSP
masih tersebar dalam beberapa Undang-Undang namun belum
mengatur
secara komprehensif bahkan masih berupa himbauan, sehingga
program
TJSP masih beragam berupa program berkelanjutan atau hanya
bersifat
charity atau filantrophy semata.
Penulis:
Atisa Praharini, S.H., M.H. ❖ Nita Ariyulinda, S.H., M.H. ❖ Chairul Umam, S.H., M.H. ❖ Ricko Wahyudi, S.H., M.H. ❖ Arrista Trimaya, S.H., M.H. ❖ Bagus Prasetyo, S.H., M.H. ❖ Woro Wulaningrum, S.H., M.H. ❖ Kuntari, S.H., M.H. ❖ Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H. ❖ Sindy Amelia, S.H. ❖ Ihsan Badruni Nasution, S.Sy, S.H., M.H. ❖ Nova Manda Sari, S.H., M.H. ❖ Yuwinda Sari Pujianti, S.H.
Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270.
Telp. 021-5715468 / 5715455 - Fax. 021-5715706