Detail Naskah Akademik (Konsep Awal NA)

RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam, jaminan negara atas kemerdekaan dan kebebasan beribadah salah satunya diwujudkan dalam melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun finansial (istitha’ah). Peran dan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh pemerintah dengan memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara Indonesia yang menunaikan ibadah haji agar dapat dilaksanakan secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Antusiasme warga negara Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji sangat tinggi namun disisi lain kuota haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi terbatas sehingga jumlah calon jemaah haji tunggu semakin meningkat. Berdasarkan data dari Kementerian Agama Republik Indonesia, kuota jemaah haji Indonesia tahun 2024 sebanyak 241.000 jemaah. Peningkatan jumlah jemaah haji tunggu dalam jumlah besar menimbulkan terjadinya akumulasi dana jemaah haji dalam jumlah besar yang berasal dari setoran awal dana haji. Akumulasi dana haji ini berpotensi dikelola dan ditingkatkan nilai manfaatnya sehingga dapat memberikan kemaslahatan bagi jemaah haji dan guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan dana haji pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU tentang PKH). Salah satu poin penting dalam UU tentang PKH tersebut yakni adanya pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang berfungsi sebagai lembaga pengelola keuangan haji melalui instrumen penempatan dan investasi dana haji. Keberadaan BPKH ini menjadikan keuangan haji dapat dikelola secara lebih profesional, transparan dan akuntabel. Keberadaan BPKH ini juga mempertegas adanya pemisahan fungsi regulator dan operator penyelenggaraan ibadah haji oleh Kementerian Agama dengan fungsi pengelolaan keuangan haji oleh BPKH. Dalam perkembangannya, pelaksanaan UU tentang PKH masih ditemukan beberapa permasalahan, yakni pertama BPKH dinilai belum optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pengelolaan keuangan haji. Adapun aspek yang mendasarinya yakni masih hati-hatinya BPKH dalam menempatkan dan menginvestasikan dana haji, dan belum adanya modal atau kekayaan BPKH yang terpisah dari dana haji serta pelindungan asuransi yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian investasi. Kedua, kelembagaan BPKH. Sebagai badan pengelola keuangan haji, BPKH masih dianggap lemah secara entitas kelembagaan serta dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. Secara entitas kelembagaan, belum ada kejelasan status BPKH sebagai lembaga pengelola keuangan atau lembaga sosial keagamaan. Hal ini penting karena terkait dengan mitra afiliasi dan mekanisme pengawasan eksternal terhadap BPKH. Adapun terkait dengan tugas dan wewenang, BPKH belum sepenuhnya terlibat dalam ekosistem penyelenggaraan ibadah haji, terutama dalam pembahasan penetapan besaran BPIH. Ketiga, beberapa materi muatan dari UU tentang PKH perlu disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU tentang PIHU). Hal ini dikarenakan pada saat pembentukan UU tentang PKH beberapa ketentuannya masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang telah dicabut dan diganti melalui UU tentang PIHU. Keempat, adanya perubahan paradigma sistem penyelenggaraan ibadah haji dari Kerajaan Arab Saudi yang menjadikan haji sebagai bagian bisnis dan pariwisata. Perubahan paradigma ini dinilai sudah tidak sejalan dengan kebijakan konvensional Pemerintah Indonesia terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Hal ini jelas akan berdampak pada pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji ke depan. Perubahan paradigma kebijakan penyelenggaraan haji dan umrah di Arab Saudi melalui Visi 2030 Kerajaan Arab Saudi perlu diantisipasi dan diadaptasi oleh regulasi di Indonesia.

Kuisioner
Mohon diisi:
Nama Responden * :
Usia * :
Jenis Kelamin * :
Pendidikan Terakhir * :
Pekerjaan * :
Email * :
No. Telepon * :
No Pertanyaan Jawaban
1. Apakah ada saran dan masukan mengenai latar belakang yang diuraikan dalam Bab I Naskah Akademik?
2. Apakah ada saran dan masukan mengenai kajian teoritis, kajian asas/ prinsip , kajian empiris, dan implikasi penerapan sistem baru sebagaimana diuraikan dalam Bab II Naskah Akademik?
3. Apakah evalusi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang diuraikan dalam Bab III sudah cukup memadai?Adakah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih harus ditambahkan?
4. Apakah landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang diuraikan dalam Bab IV sudah cukup menjadi landasan pemikiran dalam penyusunan Naskah Akademik?
5. Apakah ada saran dan masukan mengenai jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan yang diuraikan dalam Bab V Naskah Akademik?
6. Selain hal-hal diatas adakah saran atau masukan lainnya guna penyempurnaan konsep awal NA ini?
Upload Dokumen
captcha
Tindak Lanjut
Nama Pekerjaan Aksi
Prof. Nur Hidayah, S.Ag., SE., M.A., M.A., Ph.D Dosen Detail
Dr. Riduwan SE, M.Ag. Dosen Detail
Eko Surya Lesmana Karyawan Swasta Detail