
Pengakuan dan perlindungan konstitusional terhadap masyarakat adat tercantum di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Namun konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat kerap terjadi dan penyelesaiannya seringkali berbenturan dengan status legal masyarakat adat, baik statusnya sebagai subjek hukum maupun status kepemilikan masyarakat hukum adat atas objek hak asal-usulnya. Saat ini, beberapa undang-undang maupun peraturan pelaksananya yang telah ada tidak memiliki kesamaan indikator untuk menterjemahkan syarat-syarat konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat. Keberadaan masyarakat hukum adat sebagai kelompok minoritas selama ini termarginalkan dalam mengakses dan memenuhi bukan saja hak 'tradisionalnya', melainkan juga hak-haknya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya saat ini masih belum sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan munculnya konflik sosial dan konflik agraria di wilayah adat. Pengakuan dan pelindungan terkait masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan masih dilakukan secara sektoral dan tersebar dalam beberapa peraturan perundang- undangan. Hal tersebut mengakibatkan belum adanya kepastian hukum masyarakat hukum adat dalam memperoleh pengakuan, pelindungan dan pemberdayaan. Oleh karena itu, pengaturan masyarakat hukum adat secara komprehensif dalam suatu undang-undang sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat hukum adat di Indonesia.
| Nama | Pekerjaan | Aksi |
|---|
Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270.
Telp. 021-5715468 / 5715455 - Fax. 021-5715706